PEDOMAN PEMBINAAN KESEHATAN
ANAK USIA SEKOLAH BERKELAINAN
(A.L.B)
DEPARTEMEN KESEHATAN RI
PEDOMAN PEMBINAAN KESEHATAN
ANAK USIA SEKOLAH BERKELAINAN
(A.L.B)
Diterbitkan oleh :
DEPARTEMEN KESEHATAN RI
Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat
Jakarta, 1994
Catalog dalm terbitan. Departemen Kesehatan RI.
351.844
Ind Indonesia. Departemen Kesehatan. Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat.
p Pedoman pembinaan kesehatan anak usia sekolah berkelainan (A.L.B). – Jakarta : Departemen Kesehatan, 1992.
I. Judul 1. HANDICAPPED 2. SCHOOL HEALTH SERICES.
KATA PENGANTAR
Dalam pembinaan kesehatan anak usia sekolah, kita sadari bahwa adanya anak-anak usia sekolah yang berkelainan (ALB). Berdasarkan Sensus tahun 1986 terdapat 0,6% penduduk adalah penyandang cacat, dimana 20% dari penyandang cacat tersebut adalah anak usia sekolah. Tentunya anak-anak ini merupakan sasaran yang harus lebih dibina dan ditingkatkannya dan dapat hidup mandiri di tengah masyarakat sesuai dengan keterbatasannya.
Sebagai rintisan dalam membina kesehatan anak usia sekolah berkelainan tersebut, sejak tahun 1986/1987 telah dilaksanakan program panduan pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan (ALB) di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sampai dengan tahun 1992/1993 berkembang di 12 propinsi.
Untuk pedoman ini adalah merupakan himpunan dari pada langkah-langkah kegiatan yang dilaksanakan di daerah dan telah di bahas melalui suatu Temu Kerja Nasional pada tahun 1991 yang lalu.
Diharapkan buku ini dapat menjadi pedoman umum bagi petugas kesehatan di setiap jenjang administrasi dalam melaksanakan pembinaan terhadap anak usia sekolah yang berkelainan (ALB).
Jakarata, Januari 1994.
Kepala Dit. Bina Kesehatan Keluarga,
Dr. H. Nardho Gunawan, MPH
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. PENGERTIAN A.L.B
C. TELAAH KEADAAN
D. KERANGKA KONSEPTUAL
BAB II PEMBINAAN KESEHATAN ANAK USIA
SEKOLAH BERKELAINAN (ALB)
A. TUJUAN
B. SASARAN
C. POLA DASAR
D. KEBIJAKAN OPERASIONAL
E. UPAYA PEMBINAAN
BAB III PELAYANAN KESEHATAN ANAK USIA
SEKOLAH BERKELAINAN (ALB)
A. TUJUAN
B. KEGIATAN DI LAPANGAN
C. TATA LAKSANA
PENUTUP
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tidak semua anak sehat seutuhnya, sebagian kecil sejak lahir atau dalam masa perkembangannya mengalami gangguan fungsi fisik, mental emosional atau social, sehingga tergolong anak berkelainan atau penyandang cacat.
Setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan Undang-undang no.23 tahun 1992 disebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1980, rehabilitasi penyandang cacat bertujuan pemulihan dan pengembangan fisik, mental dan sosial penyandang cacat agar ia dapat berfungsi dalam masyarakat sesuai ringkat kemampuan, bakat, pendidikan dan pengalaman.
Rehabilitasi mencakup rehabilitasi medik dan rehabilitasi sosial yang penyelenggaraannya oleh masing-masing departemen yang bersangkutan. Dalam kaitan ini, pelaksanaan rehabilitasi medik tidak bisa terlepas dari keterpaduan dengan rehabilitas sosial untuk memperoleh hasil yang optimal bagi penerima rehabilitasi.
Sebab itu diperlukan mekanisme koordinasi, baik dalam pelaksanaan rehabilitasi medik itu tersendiri maupun dalam keterpaduan pelaksanaan dengan rehabilitasi sosial dan peran serta masyarakat.
Rehabilitasi medik dilaksanakan secara berjenjang, dimulai dari tingkat pelayanan dasar sampai ketingkat pelayanan spesialistik. Sesuai konsep pelayanan kesehatan dasar, jaringan pelayanan kesehatan Puskesmas adalah tingkat pelayanan dasar dalam kaitan dengan rehabilitasi medik, melaksanakan koordinasi atau mengatur upaya masyarakat dalam pelaksanaan rehabilitasi medik, baik oleh perorangan maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat.
Dalam Sistem Kesehatan Nasional di tegaskan pentingnya peranan masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Peran serta aktif masyarakat adalah dalam pelaksanaan kegiatan sederhana untuk kesehatan perorangan penyandang cacat dan keluarga mereka, maupun kegiatan lain melalui kader-kader dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Keterlibatan masyarakat dierlukan dalam mengembangkan ketenagaan, dana dan sarana yang dibutuhkan.
Sampai sejauh ini berbagai bentuk pelayanan kesehatan bagi anak berkelainan telah dilaksanakan, baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat. Sejak 1986 telah dilaksanakan proyek panduan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang pada tahun 1989 diperluas ke JAWA Barat, D.I Yogyakarta, Bali dan Sulawesi Utara. Pengalaman panduan tersebut menjadi masukan bagi Temu Kerja Maret 1991 di Semarang.
Temu Kerja yang dihadiri para pengambil keputusan lintas sektoral dan pakar-pakar upaya rehabilitasi anak berkelainan berhasil merumuskan patokan-patokan untuk selanjutnua di pakai dalam menyusun pedoman berkelainan (anak luar biasa/ALB) yang bertumpu pada Puskesmas sebagai pusat rujukan dasar.
B. PENGERTIAN
Yang dimaksud dengan Anak Luar Biasa adalah anak dengan kelainan atau gangguan fungsi fisik, mental, emosional, tingkah laku sosial, atau kondisi khusus, sehinga ia mengalami hambatan dalam menjalankan fungsi sosialnya, baik di rumah maupun di sekolah atau lingkungannya. Sehingga ia memerlukan perhatian, pendidikan dan pelayanan kesehatan yang khusus agar dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
Secara umum pada anak luar biasa dapat ditemukan salah satu atau kombinasi dari gangguan atau kelainan sebagai berikut :
1. Gangguan fisik
2. Gangguan mental
3. Gangguan sosial
Bentuk gangguan yang dialami anak luar biasa dapat berupa :
1. Gangguan fisik :
- Catat akibat kelumpuhan (polio), kelainan otot gerak, kelainan akibat kerusakan otak
- Cacat indra penglihatan dan pendengaran
- Gangguan daya bicara.
- Penyakit-penyakit tuberkulosa, ayan (epilepsy), gangguan metabolic.
- Retardasi mental yang diakibatkan oleh gangguan fisik.
2. Gangguan Jiwa :
- Kesulitan dalam adaptasi terhadap tekanan (stress) dari luar maupun dari dalam dirinya.
- Akibat sekunder dari kelainan dan gangguan fisik yang menyebabkan rasa canggung dan rendah diri.
- Beberapa krisis dalam masa perkembangan anak yang mendapat tanggapan negatif dari lingkungannya. Misalnya anak remaja yang ingin mencari identitas diri dan ingin melepaskan diri dari orang tuanya.
- Perpindahan sekolah atau daerah yang berkelainan latar belakang kebudayaan, bahasa, cara pendidikan dan lain-lain.
3. Gangguan keadaan lingkungan dan sosiobudaya
- Keadaan rumah tangga yang kacau, perceraian, pernikahan ganda, perpisahan anggota keluarga terdekat dan sebagainya.
- Perbedaan sikap dalam cara membesarkan / mendidik anak oleh orang tua, nenek, kakek, bibi, paman, seperti disiplin yang tidak teratur, terlalu keras atau sama sekali tidak ada.
- Orang tua yang terlalu membiarkan atau sebaiknya, memaksakan prinsip da kehendak pada anak
- Pengaruh negatif lingkungan sekolah, ketidak seimbangan antara disiplin bimbingan dan ketentraman dalam sekolah.
- Retardasi mental ringan akibat kurang stimulasi yang memadai dan sesuai.
C. TELAAH KEADAAN
1. Tidak ada survey nasional tentang penyebaran gangguan fungsi fisik, mental emosional dan sosial pada anak usia sekolah.
a. Penelitian di 100 SD di Jakarta (1975 – 1976) mendapatkan 13 persen sasaran adalah anak penyandang gangguan fungsi, berupa gangguan tunggal atau ganda/ majemuk.
Jenis gangguan seperti table berikut ini :
JENIS GANGGUAN % KETERANGAN
1) Kesulitan belajar 5,8 termasuk disini :
3,6 % retardasi mental ringan
Dan 1,2 % retardasi mental
Sedang
2) Gangguan bicara 5,3
3) Gangguan pendengaran 4,1
4) Gangguan penglihatan 1,2
b. Data yang dapat dikumpulkan pada proyek panduan di 15 Puskesmas (144 desa) di Jawa Tengah dan 15 Puskesmas (71 desa) di Jawa Timur adalah sebagai berikut :
URAIAN JATIM JATENG
1) Jumlah anak berkelainan hasil pemeriksaan 768 968
Oleh dokter/ dokter ahli sesudah penjaringan
Oleh kader terlatih
2) Proporsi menurut jenis gangguan fungsi :
- keterbelakangan mental 38,0% 30,8%
- cacat fisik tubuh 27,9% 29,9%
3) Proporsi anak dengan gangguan fungsi
Menurut sekolah :
- Sekolah di SD 19,1% 27,6%
- Sekolah di SDLB/ SLB 9,8% 5,8%
- Tidak / belum sekolah 71,1 % 66,8 %
4) Prosentase keluarga dalam desa-desa 0,6 % 1,1 %
Binaan yang mempunyai anak dengan
Gangguan fungsi.
2. Nampaknya data dari Jawa Tengah dan Jawa Timur tersebut sejalan dengan hasil di Jakarta 1975/ 1976. Gangguan fungsi terbanyak adalah gangguan fungsi mental emosional, gangguan fungsi pendengaran lebih banyak dari gangguan fungsi penglihatan. Terlihat pada data Jawa Tengah dan Jawa Timur tingginya propinsi cacat fisik tubuh, menurut informasi lapangan ini sebagian besar adalah akibat polio.
Dari anak berkelainan yang ditemukan hanya sebagian kecil disekolahkan di SLB. Khususnya untuk SLB belum ditentukan standar pelayanan dalam rangka UKS karena keragaman dalam jenis-jenis SLB.
3. Proyek panduan yang dilaksanakan sejak 1986/ 1987 bertujuan untuk meningkatkan fungsi Puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan dasar bagi anak usia sekolah berkelainan.
Diutamakan adalah tatanan jalur rujukan yang sifatnya bersumber masyarakat (“community based”) dan mengkait kepada tingkat rujukan yang spesialistik dengan puskesmas sebagai titik sentral.
Selama proyek panduan tersebut diperoleh informasi sebagai berikut :
a. Pada tingkat rumah tangga, penemuan anak usia sekolah berkelainan dapat dilakukan melalui peran bantu PKK.
b. Telah dipakai Alat Identifikasi Anak Berkelainan rumusan Pokja Pendidikan Luar Biasa Dep. Pendidikan kan kebudayaan. Berdasarkan pengalaman menggunakan alat identifikasi tersebut dinilai perlu untuk mengembangkan lebih lanjut untuk menemukan anak dengan gangguan fungsi dilakukan oleh Tim Ahli RSUD Dr. Sutomo. Uji lapangan alat identifikasi yang dikembangkan Tim Ahli tersebut menunjukkan penggunaan oleh kader dengan hasil yang baik, yaitu 91,8% hasil penemuan kader adalah sesuai dengan hasil pemeriksaan tenaga kesehatan. Anak berkelainan yang ditemukan oleh kader telah di periksa ulang di Puskesmas, dan selanjutnya dikelompokkan menjadi :
1) Anak tergolong normal
2) Anak berkelainan dini
3) Anak berkelainan lanjut.
Anak berkelainan dini dan lanjut telah ditindak lanjuti oleh Puskesmas, baik oleh Puskesmas sendiri maupun pelayanan rujukan medik spesialistik.
c. Panduan pembinaan kesehatan anak usia sekolah berkelainan yang dilaksanakan di 12 propinsi sejak 1986/1987 sampai dengan 1991/1992 melaksanakan “critical actions” sebagai berikut :
1) Forum pembinaan kesepakatan tentang berbagai kegiatan terkait dan pola keterpaduan operasionalnya, dilakukan pada tingkat Propinsi, Dati II dan Kecamatan, secara lintas program dan lintas sektoral khususnya Departemen Sosial dan Tim Penggerak PKK.
2) Pendataan tingkat desa dengan mengikutsertakan PKK :
a. Persiapan kader PKK berupa pelatihan memakai instrument identifikasi anak berkelainan (deteksi dini).
b. Pelaksanaan deteksi dini oleh kader terlatih.
3) Tindak lanjut bagi kasus yang ditemukan oleh kader
a. Pemeriksaan oleh Puskesmas untuk konfirmasi diagnosa serta upaya pengobatan dasar sesuai keperluan.
b. Rujukan ahli dengan mengirimkan penderita ke rumah Sakit Umum Dati II /Dati I untuk mendapatkan pelayanan spesialistik yang diperlukan sesuai dengan kecacatannya.
c. Tindak lanjut menurut petunjuk tenaga / dokter ahli berupa :
1) Merujuk ke tempat pelayanan kesehatan yang mampu melaksanakan tindak lanjut medik yang diperlukan.
2) Tindak lanjut pemeliharaan kesehatan oleh keluarga di bawah bimbingan/ pengawasan Puskesmas
4) Beberapa hal yang menarik perhatian dalam penyelenggaraan panduan adalah :
a. Perlunya ditingkatkan keterlibatan Puskesmas dalam penyelenggaraan rujukan dan rehabilitasi medik anak penyandang gangguan fungsi oleh sektor lain (melalui MRU atau LSM).
b. Untuk memfungsikan Puskesmas sebagai pusat rujukan dasar masih perlu ditingkatkan kemampuan dan keterampilan petugas dalam seleksi kasus, tindak lanjut dan tindakan rehabilitasi sederhana maupun dalam pembinaan keluarga dari anak berkelainan.
c. Rujukan bagi anak berkelainan bukan semata-mata rujukan medik tetapi juga diperlukan rujukan sosial dan kekaryaan, untuk ini perlu jalinan kerjasama lintas sektoral yang mantap di samping pemantapan jalinan lintas program sektor kesehatan.
D. KERANGKA KONSEPTUAL
Tata laksana pelayanan kesehatan untuk anak usia sekolah berkelainan di kembangkan berdasarkan pokok-pokk pikiran sebagai berikut :
1. Sebagai anak usia sekolah tergolong anak berkelainan yang selama bertahun-tahun mengalami perkembangan yang menyimpang karena mempunyai kelainan, kecacatan atau gangguan fungsi yang memperberat kecacatan, anak berkelainan mengalami keterbatasan dalam hidup bermasyarakat. Kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial anak berkelainan yang sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk hidup bermasyarakat karena diisolasikan dari lingkungannya atau diterlantarkan.
Namun apapun kondisi anak usia sekolah berkelainan ia berhak atas pemeliharaan kesehatan yang memberinya kesempatan untuk dipulihkan keadaannya dan dikembangkan ke mampuan dan kemandirian dalam kehidupan sosial.
Dengan pemeliharaan kesehatan diartikan seragkaian upaya kesehatan yang mengkait dan berkesinambungan, mencakup upaya bersumber masyarakat (“community based”), pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial, sebagai berikut :
a. Upaya yang bersumber masyarakat dimulai dari rumah tangga berupa upaya swahusada dan pengasuhan anak usia sekolah berkelainan secara baik dan benar. Upaya swahusada dari rumah tangga perlu ditunjang dengan upaya
swahusada kelompok masyarakat melalui peran bantu PKK.
b. Pelayanan kesehatan dilaksanakan melalui serangkaian unit pelayanan kesehatan secara berjenjang dari pelayanan dasar sampai ke pelayanan spesialistik..
c. Pelayanan sosial mencakup rehabilitasi sosial dan pekaryaan untuk refungsionalisasi dan pengembangan potensi yang masih ada agar anak berkelalinan tersebut dapat melaksanakan fungsi sosialnya semaksimal mungkin.
2. Sebagian dari kelainan yang terjadi pada anak usia sekolah karena disebabkan penanganan yang terlambat, yang sebenarnya bisa diatasi bila ditemukan pada tahapan lebih dini atau bila mendapat pemeliharaan secara tepat sehingga tidak bisa dicegah sebelum anak mencapai usia sekolah.
Upaya untuk menemukan anak usia sekolah berkelainan dapat dilaksanakan denga cara :
a. Kegiatan penjaringan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan periodic di sekolah;
b. Melalui peran Bantu PKK, kader mencari anak usia sekolah berkelainan di Dasa Wisma;
c. Petugas Sosial (PSK) mencari anak usia sekolah berkelainan sebagai bagian dari program rehabilitasi sosial Departemen Sosial.
3. Anak usia sekolah berkelainan yang diteruskan ke Puskesmas untuk di tindak lanjuti :
a. Pemeriksaan ulang oleh Puskesmas untuk konfirmasi kasus dan penentuan tindak lanjut, baik berupa pengobatan, rehabilitasi maupun rujukan;
b. Pemeriksaan penunjang diagnosa dilaksanakan melalui rujukan dengan pola :
1) mengirim kasus ke fasilitas rujukan medik spesialistik;
2) mendatangkan dokterahli ke Puskesmas.
Tindak lanjut tergantung dari kondisi kelainan yang ditemukan. Di satu pihak kelainan yang diteruskan dapat berupa kelainan tunggal atau kelainan ganda/ majemuk
Serta keterlambatan pertumbuhan/ perkembangan. Di pihak lain gangguan fungsi yang diakibatkan kelainan dapat bersifat sementara (“reversible”) atau menetap (“irreversible”).
Skema 3 :
4. Untuk keperluan pengobatan rehabilitasi medik dilaksanakan rujukan medik dengan pola berjenjang dari tingkat dasar ke tingkat spesialistik sebagai berikut :
a. Pengobatan dasar dan rehabilitasi medik dasar di puskesmas khususnya untuk anak berkelainan dengan gangguan fungsi sementara / tidak menetap ; seperti di bagan berikut ini :
Skema 4 :
b. Untuk anak usia sekolah berkelaian dengan gangguan fungsi menetap dan tidak bisa diselesaikan dengan pengobatan dasar dan rehabilitasi medik dasar dilaksanakan rujukan medik spesialistik dengan pola :
1) Secara horizontal antara Puskesmas, untuk ini perlu menjadi satu puskesmas sebagai pusat rujukan gugus puskesmas dengan meningkatkan daya dukung tehnis Puskesmas tersebut.
2) Rujukan spesialistik vertical dengan mengirim kasus ke jenjang yang lebih tinggi.
Pola ini bisa dibagankan sebagai berikut :
c. Pembinaan oleh Puskesmas setelah anak selesai pengobatan dan rehabilitasi mencakup :
1) Pembinaan keluarga dalam hal swahusada untuk pemeliharaan kesehatan anak dalam rumah tangga;
2) Penyaluran anak untuk rehabilitasi sosial dan rehabilitasi kekaryaan.
5. Semakin kompleksnya gangguan fungsi yang disandang anak semakin basar tanggungan beban pengasuhan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, mengingat nilai strategic keluarga dalam pengasuhan anak, anggota keluarga khusus ibu perlu dibina kemampuannya dalam hal :
a. Deteksi awal adanya kemungkinan gangguan fungsi pada anak dan cara melaksanakan tindakan tindak lanjut tepat guna;
b. Melaksanakan tindakan rehabilitasi sederhana dan pengasuhan yang tepat sesuai kondisi anak, baik untuk mencegah masalah akibat ganttuan fungsi (“sequelae”) maupun untuk mempercepat rehabilitasi.
6. PKK adalah wadah yang memberikan peran bantu bagi terlaksananya pemeliharaan anak usia sekolah.
Peran Bantu ini mencakup :
a. Pengorganisasian melalui Dasa Wisma untuk meningkatkan kemampuan swahusada keluarga dan pengusaha anak usia sekolah dengan gangguan fungsi.
b. Penyuluhan dan motivasi untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemeliharaan kesehatan dan rehabilitasi anak usia sekolah penyandang gangguan fungsi.
c. Pendataan
d. Rujukan anak usia sekolah dengan gangguan fungsi ke Puskesmas untuk ditindak lanjuti.
Kader yang dipilih di tingkat Dasa Wisma merupakan tulang punggung daam pembinaan keluarga dari anak-anak usia sekolah berkelainan. Agar ia bisa berfungsi dengan baik maka perlu ditingkatkan kemampuan dan ketrampilan yang diperlukan.
7. Kesimpulan.
a. Dalam pemeliharaan kesehatan anak usia sekolah berkelainan, Puskesmas mempunyai kedudukan sentral. Puskesmas terlibat secara aktif dalam setiap upaya penanganan anak usia sekolah yang berkelainan, karena adanya hubungan interaksi, intervensi dan interdepensi antara pelayanan kesehatan Puskesmas dengan upaya swahusada di keluarga serta upaya rehabilitas sosial dan kekaryaan.
b. Fungsi Puskesmas adalah pusat rujukan dasar dan pusat rehabilitasi dasar dengan lingkup aktivitas :
1) Melaksanakan konfirmasi kasus anak usia sekolah berkelainan yang ditunjuk dari sekolah, kader dan unsure sektor lain. Hasil pemeriksaan Puskesmas akan berbentuk diagnosa dan keputusan tidak lanjut, tergantung pada jenis dan tingkat keseriusan kelainannya.
2) Melaksanakan rujukan horizontal dan vertical dalam rangka rujukan medik, rujukan sosial dan rujukan ke karyaan.
3) Melaksanakan pemantauan dan pembinaan kepada keluarga yang mempunyai anak usia sekolah berkelainan, panti penampungan anak usia sekolah berkelainan dan sekolah luar biasa (SLB) dalam wilayah kerjanya.
4) Penggerak dan Pembina upaya swahusada keluarga dan masyarakat termasuk LSM di bawah koordinasi LKMD.
c. Alur identifikasi kebutuhan pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan, dapat digambarkan sebagai bagan berikut ini :
BAB II
PEMBINAAN KESEHATAN ANAK USIA SEKOLAH
BERKELAINAN (ALB)
A. TUJUAN
Berdasarkan rumusan tujuan pembinaan kesehatan anak usia sekolah dalam pola pembinaan kesehatan keluarga, tujuan umum pembinaan kesehatan anak usia sekolah berkelainan (ALB) adalah tumbuhnya dan wujudnya kemandirian anak yang berkelainan untuk hidup sehat, sesuai dengan keterbatasannya.
B. SASARAN
Sasaran pembinaan kesehatan anak usia sekolah berkelainan dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Sasaran Langsung :
a. Anak usia sekolah berkelainan.
b. Keluarga dari anak usia sekolah berkelainan, terutama ibunya.
2. Sasaran tidak langsung :
a. Unsur di luar lingkungan keluarga yang mempunyai posisi strategis dalam pemeliharaan kesehatan anak usia sekolah berkelainan seperti guru, kader kesehatan, pemuka agama, para Pembina organisasi pemuda/wanita dan sebagainya.
b. Masyarakat dalam bentuk kelompok khusus yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat.
C. POLA DASAR
1. Kedudukan Puskesmas :
Puskesmas merupakan pusat pelayanan dan pengembangan upaya kesehatan di wilayah kerjanya, dengan demikian upaya kesehatan di wilayah kerjanya, dengan demikian Puskesmas memegang peran sentral dalam keseluruhan pelaksanaan pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan di Kecamatan/ wilayah kerja Puskesmas. Dengan demikian dalam setiap penanganan anak usia sekolah berkelainan, Puskesmas dilibatkan secara aktif dengan fungsi pelayanan kesehatan dan penggerakkan rujukan untuk rehabilitasi anak usia sekolah berkelainan (rujukan medik, sosial dan kekaryaan).
2. Keterpanduan fungsional :
Pelayanan upaya kesehatan di Puskesmas dilaksanakan melalui berbagai kegiatan pokok. Satu kegiatan pokok tidak berdiri sendiri tetapi dalam pelaksanaannya secara tehnis terkait dengan beberapa kegiatan pokok yang relevan.
Pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan merupakan upaya terpadu antara kegiatan pokok kesehatan sekolah dan perawatan kesehatan masyarakat dengan kegiatan pokok Perbaikan Gizi, Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit, Penyuluhan Kesehatan, Pengobatan, Kesehatan Mata, dan Pencatatan dan Pelaporan.
Keterpaduan fungsional antar kegiatan pokok terkait dalam pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan mencakup :
a. Keterpaduan fungsional tehnis/ intervensi.
b. Keterpaduan kegiatan pendukung seperti :
1) pembinaan dukungan situasi melalui komunikasi, informasi dan motivasi maupun melalui pendekatan edukatif;
2) pemantauan terhadap perkembangan tingkat kesehatan anak usia sekolah berkelainan, perkembangan pengasuhan anak usia sekolah berkelainan, jenis pelayanan kesehatan bagi anak usia sekolah, perkembangan ilmu kesehatan dalam kaitan kesehatan anak usia sekolah berkelainan.
3. Intervensi pokok dan kegiatan utama (“critical action”).
Sesuai masalah kesehatan anak usia sekolah berkelainan, kegiatan pokok Puskesmas melaksanakan intervensi pokok dengan kegiatan utama (“critical action”) seperti berikut :
a. intervensi pengobatan dengan kegiatan utama pencarian, pemeriksaan, pengobatan dan rehabilitasi medik, pemberian kekebalan dan tindak lanjut atau rujukan;
b. intervensi lingkungan dengan kegiatan utama pengembangan perilaku perorangan, keluarga, kelompok masyarakat untuk kepentingan anak usia sekolah berkelainan.
Intensitas pelaksanaan intervensi pokok pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan dapat bervariasi antar Puskesmas karena tergantung pada :
a. masalah kesehatan anak usia sekolah berkelainan;
b. ketenagaan Puskesmas yakni jumlah dan kualitas tenaga, serta sarana ;
c. daya jangkau Puskesmas yang tergantung penyebaran penghunian anak usia sekolah berkelainan dan keadaan geografk wilayah.
4. Jangkauan :
Walaupun kondisi Puskesmas bervariasi, namun perlu diupayakan agar Puskesmas dapat menjangkau semua anak usia sekolah berkelainan dalam wilayah kerjanya. Untuk dapat menjangkau semua anak usia sekolah berkelainan, Puskesmas mengembangkan jaringan rujukan anak usia sekolah berkelainan dalam wilayah kerjanya, dimulai dari keluarga dan diselenggarakan dengan peran Bantu PKK yang mempunyai organisasi yang mantap di tingkat desa melalui kelompok PKK Dusun, RW, RT dan Dasa Wisma.
5. Pembinaan :
Pembinaan terhadap pelaksanaan pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan mencakup aspek manajemen, aspek KIE dan aspek pembinaan peran serta masyarakat.
a. Manajemen :
1) Manajemen mencakup perencanaan, penggerakan pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan penilaian serta melakukan koordinasi terhadap semua upaya dan sarana pelayanan kesehatan dalam kaitan anak usia sekolah perkelainan yang ada dalam wilayah kerja Puskesmas, baik intern Puskesmas maupun lintas sektoral. Intriument koordinasi intern Puskesmas adalah “Perencanaan Mikro (“Microplanning”) yang menghasilkan rencana kerja terpadu. Untuk koordinasi lintas sektoral Puskesmas memanfaatkan forum-forum yang sudah ada di tingkat Kecamatan, diantaranya Tim Pembina UKS tingkat Kecamatan dan forum koordinasi Kecamatan lainnya seperti POKJANAL Posyandu.
2) Pelayanan kesehatan bagi anak usia sekolah berkelainan dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri atas tenaga Puskesmas yang ditugasi untuk mengurus kegiatan pokok terkait dalam pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan.
Dengan memperhatikan bahwa anak usia sekolah yang berkelainan ada yang di sekolahkan dan ada yang tidak sekolah, maka dalam melaksanakan manajemen untuk pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan perlu dibedakan sebagai berikut :
a. Tenaga Puskesmas yang ditugasi mengurus kegiatan pokok berkaitan dengan intervasi yang sifatnya teknis untuk mengurangi atau menyelesaikan masalah kesehatan anak usia sekolah berkelainan, mempunyai fungsi manajemen teknologi; mencakup :
(1) perencanaan teknologi disesuaikan dengan kondisi setempat;
(2) penggerakan pelaksanaan tehnologi atas dasar prinsip adanya :
- pendelegasian wewenang
- peran serta masyarakat.
(3) Pengawasan, pengendalian dan penilaian pelaksanaan teknologi.
b. Tenaga puskesmas yang ditugasi mengurus kegiatan pokok Kesehatan Sekolah dan kegiatan pokok Perawatan Kesehatan Masyarakat mempunyai fungsi manajemen yang bobotnya adalah pada :
(1) Koordinasi :
- Perencanaan
- Pelaksanaan operasional pelayanan kesehatan dengan pengertian koordinasi mencakup sinkronisasi, integrasi dan motivasi ;
(2) Melaksanakan pengawasan, pengendalian dan penilaian pelaksanaan operasional pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan, mencakup di dalamnya antara lain :
- mengikuti dan memantau perkembangan operasional dan pencapaian rencana operasional,
- melaksanakan pengumpulan dan pengolahan data, mencakup data masukan, proses, iuran dan hasil pencapaian tujuan sementara (“input, proses, output, outcome”)
- membuat laporan terpadu.
b. KIE mencakup :
1) Pembinaan pengetahuan, sikap dan perilaku agar mampu menjalankan prinsip hidup sehat, termasuk di dalamnya juga bimbingan tehnis dan latihan ketrampilan bagi guru dan ibu dari anak usia sekolah berkelainan agar dapat melakukan tindakan sederhana tetapi bermanfaat dan sesuai prioritas serta kondisi anak;
2) Pembinaan dukungan situasi melalui komunikasi, informasi dan motivasi.
c. Pembinaan peran serta masyarakat.
Dalam rangka membina peran serta masyarakat fungsi Puskesmas adalah :
1) Membina kemampuan masyarakat dalam penelaahan situasi masalah berkaitan dengan kesehatan anak usia sekolah berkelainan dan penentuan alternative penanggulangan sesuai kemampuan;
2) Membina masyarakat agar mampu menjalankan kebiasaan hidup sehat;
3) Membina masyarakat agar aktif berperan dalam penyediaan dana, sarana dan tenaga untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan.
6. Pelaksana Pelayanan Kesehatan.
Pelaksana pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan adalah mereka yang langsung melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan :
a. Di Sekolah : guru yang ditunjuk dan diserahkan wewenang untuk kegiatan pelayanan kesehatan di sekolah;
b. Di Keluarga : orang tua, terutama ibu dari anak usia sekolah berkelainan;
c. Di Masyarakat : kader. PKK/ dasa wisma terlatih
d. Di Puskesmas : semua tenaga Puskesmas yang ditugasi mengurusi kegiatan pokok terkait pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan, dikoordinasikan oleh tenaga Puskesmas yang ditugasi mengurus Kesehatan Sekolah dan Perawatan Kesehatan Masyarakat.
Pada guru, Ibu dan Kader Dasa Wisma terpilih diberi bimbingan secara khusus agar mampu melakukan tindakan sederhana dan bermanfaat (swahusada) sesuai kondisi dan kebutuhan anak usia sekolah berkelainan.
D. KEBIJAKAN OPERASIONAL
Kebijakan operasional adalah kebijakan sebagai panduan dan landasan pelayanan kesehatan bagi anak usia sekolah berkelainan untuk dilaksanakan secara terpadu, merata, menyeluruh dan berhasil guna serta berdaya guna.
Kebijakan operasional untuk mencapai tujuan anak usia sekolah berkelainan adalah sebagai berikut :
1. Pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan dilaksanakan secara koprehensif, diutamakan pada upaya pengobatan dan pemulihan kesehatan secara terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan.
Paket program yang dilaksanakan bersifat responsive terhadap permasalahan kesehatan anak usia sekolah berkelainan maupun kebutuhan sesuai proses tumbuh kembang anak.
2. Untuk mencapai semua anak usia sekolah berkelaianan di wilayah kerja Puskesmas dikembangkan jaringan pelayanan kesehatan yang mengkaitkan Puskesmas dengan daerah tangkapan (“catoment areas”) sebagai berikut :
a. Rumah tangga
b. Sekolah serta institusi pendidikan non formal seperti Pondok Pesantran
c. Kelompok masyarakat di luar lingkungan rumah tangga termasuk LSM.
Fungsionalisasi yang optimal jaringan daerah tangkapan tersebut diupayakan dengan komunikasi, informasi dan motivasi maupun dengan pendekatan edukatif untuk alih kelola dan alih tehnologi dalam rangka swahusada dan pengasuhan anak usia sekolah berkelainan.
3. Peningkatan mutu pelayanan kesehatan anak usia sekolah dilaksanakan secara bertahap, mencakup aspek :
a. Peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang diterima oleh anak usia sekolah berkelainan, sesuai kebutuhan menurut kasus gangguan fungsi mencakup pelayanan medik dasar dan rujukan ke tingkat pelayanan medik dasar dan rujukan ke tingkat pelayanan medik spesialistik serta medik spealistik canggih.
b. Pelayanan medik dasar anak usia sekolah berkelainan di laksanakan sesuai standar yang ditetapkan. Bagi Puskesmas yang belum mampu melaksanakannya secara bertahap dikembangkan daya dukungannya sehingga mampu mencapai mutu pelayanan sesuai standar.
E. UPAYA PEMBINAAN
Bertitik tolak pada kebijakan operasional yang dirumuskan diatas, dilakukan kegiatan pembinaan kesehatan anak usia sekolah berkelainan/ALB sebagai berikut :
1. Komponen kegiatan Pelayanan Kesehatan terdiri atas :
a. Membentuk dan memantapkan jaringan rujukan pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan yang mengkait antara pelayanan kesehatan di tingkat keluarga sampai dengan pelayanan professional canggih, dengan kegiatan sebagai berikut :
1) Pelayanan kesehatan dalam lingkungan keluarga yang dilaksaakan oleh ibu atau anggota keluarga yang lain dari anak yang berkelainan tersebut.
2) Pelayanan kesehatan di luar lingkungan keluarga, yang dilaksanakan oleh kader dasa wisma yang telah mendapatkan pelatihan tentang penanganan anak usia sekolah berkelainan.
3) Pelayanan kesehatan professional melalui pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas, Rumah Sakit baik di tingkatkan Dati II maupun Dati I dan pusat rehabilitasi lainnya.
b. Menyelenggarakan paket program edukatif bagi ibu dari anak usia sekolah yang berkelainan/ALB untuk membina kemampuannya dalam membimbing dan memelihara anak yang berkelainan tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal di dalam keterbatasannya.
c. Menyelenggarakan paket program komunikasi, informasi dan motivasi untuk membina peran serta kelompok khusus masyarakat maupun masyarakat umumnya dalam pembinaan kesehatan anak usia sekolah berkelainan/ALB.
2. Komponen kegiatan pembinaan sarana dan prasarana, meliputi :
a. Pembinaan ketenagaan, berupa peningkatan kemampuan tehnis dan manajemen para pelaksana dan pengelola termasuk peningkatan peran Bantu dasa wisma.
b. Pembinaan wadah pelayanan melauli pembentukan wadah koordinasi antar sektor terkait dalam penanganan anak usia sekolah berkelainan/ALB.
c. Pembinnaan dukungan pendanaan, melalui dana bersumber masyarakat, dana Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dan dana dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
d. Pengembangan Tehnologi tepat guna dan berbagai metoda pembinaan.
3. Komponen pembinaan dukungan situasi meliputi :
Peningkatan dukungan politis melalui komunikasi, informasi dan motivasi dengan lintas program dan lintas sektor terkait termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
INDIKATOR KEBERHASILAN :
Penilaian keberhasilan kegiatan pembinaan kesehatan anak usia sekolah berkelaianan / ALB dilakukan dengan menggunakan data pencatatan dan pelaporan pelaksanakan kegiatan, pengamatan khusus dan penelitian.
INDIKATOR KEBERHASILAN MELIPUTI :
a. Prosentase anak usia sekolah berkelainan yang dirujuk.
b. Prosentase anak usia sekolah berkelainan yang dibina.
c. Prosentase keluarga dengan anak usia sekolah berkelainan yang dibina.
d. Menurunnya angka kesakitan pada anak usia sekolah berkelainan, khususnya penyakit akibat kecacatan yang dideritanya.
BAB III
PELAYANAN KESEHATAN ANAK USIA SEKOLAH
BERKELAINAN (ALB)
A. TUJUAN :
Berdasarkan rumusan tujuan pembinaan kesehatan anak usia sekolah berkelainan (ALB) dalam pola pembinaan kesehatan anak usia sekolah, tujuan pelayanan kesehatan bagi anak usia sekolah berkelainan (ALB) adalah :
1. Berhentinya proses penyebab gangguan fungsi, pemulihan fungsi dan peningkatan kemampuan anak usia sekolah berkelainan agar dapat berfungsi secara optimal dan berkurang ketergantungan kepada orang lain.
2. Meningkatkan daya tahan terhadap penyakit dan atau cidera serta menghindari terjadinya komplikasi akibat kelainan yang disandang, untuk mencegah menurunnya tingkat kesehatan anak usia sekolah berkelainan.
B. KEGIATAN DI LAPANGAN
Berdasarkan pengalaman pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan (ALB) di daerah panduan sebagai berikut :
I. KEGIATAN AWAL :
1. Pertemuan persiapan di setiap jenjang administrasi.
Pertemuan ini dimaksudkan untuk memberikan infomasi kepada unsur lintas program dan lintas sektoral yang berkaitan dengan penanganan anak usia sekolah berkelainan (ALB) tentang rencana pelaksanaan program serta mendapatkan kesempatan dukungan dari pihak-pihak yang terkait.
2. Pelatih Kader
Pelatihan ini dimaksudkan untuk melatih para kader unuk menggunakan instrument deteksi dini anak usia sekolah berkelainan (ALB) di masyarakat.
Pada umumnya kader yang dilatih adalah kader kesehatan atau kader dasawisma.
3. Pelaksanaan deteksi dini
Kader yang telah dilatih cara menggunakan instrument deteksi dini, diterjunkan ke tengah-tengah masyarakat untuk melakukan penjaringan dengan menggunakan instrument deteksi dini aak usia sekolah sekolah berkelainan (ALB). Hasil penjaringan oleh kader dirujuk ke Puskesmas untuk diperiksa ulang oleh dokter Puskesmas.
4. Rujukan Medik
Bagi anak usia sekolah berkelainan (ALB) yang memerlukan rujukan medik akan diteruskan ke Rumah Sakit Dati II dan seterusnya sesuai dengan tatanan pelayanan rujukan yang ada.
II. KEGIATAN LANJUTAN.
1. Pelatihan peningkatan keterampilan petugas Puskesmas .
Tujuan dari pelatihan adalah meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petugas Puskesmas dibidang pelayanan kesehatan rujukan anak usia sekolah berkelainan (ALB) untuk meningkatkan fungsi Puskesmas menjadi pusat rujukan dasar anak usia sekolah yang berkelainan.
Dalam pelatihan ini, materi yang diberikan harus disesuaikan dengan masalah kelainan yang ditemukan pada pelaksanaan deteksi dini oleh kader.
Pelatih adalah para dokter ahli dari Rumah Sakit Umum di daerah yang bersangkutan.
2. Rujukan Medik.
Paket rujukan tetap diberikan dengan harapan dapat secara berkesinambungan membina anak-anak usia sekolah berkelainan yang ditemukan di wilayah kerja Puskesmas yang bersangkutan.
Hal tersebut berdasarkan pengertian bahwa upaya rujukan tidak saja bersifat vertikal ke atas tetapi juga dapat bersifat vertikal ke bawah.
C. TATA LAKSANA
1. Alur pelayanan kesehatan.
Alur pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan dibagankan sebagai berikut :
a. Pencarian anak usia sekolah berkelainan dilaksanakan dengan cara :
1) Penjaringan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan secara periodik dalam rangka pelayanan kesehatan anak sekolah melalui UKS.
2) Pendataan keluarga di Desa Wisma;
3) Petugas Sosial Kecamatan (PSK) yang bertugas melakukan kegiatan sosial dalam lingkungan masyarakat, termasuk di dalamnya mendeteksi anak usia seko;ah berkelainan.
b. Anak usia sekolah dengan indikasi berkelainan selanjutnya dikirim ke Puskesmas untuk pemeriksaan konfirmasi kasus dan penetapan tindak lanjut. Bentuk tindak lanjut ditentukan berdasarkan bentuk gangguan fungsi yang disandang anak usia sekolah berkelainan tersebut.
c. Anak usia sekolah berkelainan dengan gangguan fungsi menetap, memperoleh pangobatan dasar dan rehabilitasi medik dasar di Puskesmas agar sembuh/pulih. Tindak lanjut pembinaan Puskesmas adalah terhadap keluarga maupun ke sekolah untuk anak usia sekolah yang masih sekolah.
d. Anak usia sekolah berkelainan dengan gangguan fungsi menetap selain memperoleh pengobatan dasar dan rehabilitasi medik dasar di Puskesmas juga mendapat rujukan medik spesialistik sesuai kebutuhan.
Jalur untuk rujukan spesialistik dapat berupa :
1) Rujukan spesialistik vertical.
2) Rujukan spesialistik horizontal antar gugus Puskesmas.
e. Anak yang sembuh atau telah mendapat rehabilitasi medik spesialistik akan dibina melalui upaya swahusada masyarakat.
2. Ruang lingkup fungsi pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan secara berjenjang.
a. KELUARGA :
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat dan mempunyai nilai strategis serta merupakan titik awal dari pada jalur rujukan dimana anak-anak yang berkelainan berada.
Hal-hal yang dapat dilakukan oleh keluarga terutama Ibu adalah :
1) Berinteraksi secara intensif dengan anak.
2) Mampu mendeteksi secara dini adanya masalah kesehatan/kelainan yang mungkin di derita anak.
3) Merujuk anak yang berkelainan ke tempat pelayanan kesehatan terdekat.
4) Mampu merawat anak yang berkelainan sebagai tindak lanjut rehabilitasi medik.
b. DESA :
a) Kader :
Kader yang ada di desa merupakan tulang punggung upaya deteksi dini anak berkelainan dalam masyarakat.
Hal-hal yang dapat dilakukan oleh kader :
(a) Mengikuti pelatihan penggunaan instrument deteksi dini yang dilaksanakan oleh Puskesmas.
(b) Melaksanakan pengumpulan data anak usia sekolah berkelainan di masayarakat dengan menggunakan instrument yang telah ditentukan.
(c) Merujuk anak-anak usia sekolah yang berkelainan yang ditemukan Puskesmas untuk konfirmasi lebih lanjut.
(d) Memberikan penyuluhan dan motivasi.
b) Desa Wisma.
Kelompok Ibu secara terorganisasi dalam PKK dapat berperan aktif dalam menemukan anak usia sekolah berkelainan dan memantau pengasuhan anak berkelainan di keluarga.
Secara umum peran PKK, sesuai dengan peraturan yang melandasinya adalah wadah yang memberikan peran bantu bagi terlaksananya keseluruhan kegiatan pelayanan bagi anak usia sekolah yang berkelainan di desa ynag bersangkutan, melalui Desa Wisma.
Peran bantu PKK melalui Desa Wisma mencakup hal-hal sebagai berikut :
(a) Pengrganisasian : Anggota desa Wisma untuk mendukung kehiatan swahusada bagi anak usia sekolah berkelainan.
(b) Penggerakkan : Deseminasi informasi, penggerakkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pelayanan kesehatan dan upaya swahusada masyarakat.
c) Sekolah
Di sekolah dilaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan, antara lain penjaringan kesehatan anak sekolah.
Melalui penjaringan kesehatan dapat ditemukan anak sekolah yang berkelainan yang selanjutnya segera dirujuk ke Puskesmas untuk pemeriksaan lebih lanjut.
c. KECAMATAN :
1) Puskesmas.
Puskesmas merupakan pusat pelayanan dan pengembangan upaya kesehatan di wilayah kerjanya, dengan demikian Puskesmas memegang peran sentral dalam keseluruhan kegiatan pelayanan kesehatan anak usia sekolah berkelainan di tingkat Kecamatan.
Dengan demikian setiap supaya penanganan anak usia sekolah berkelainan akan ditentukan terlebih dahulu oleh pihak Puskesmas jenis rujukannya (medis, sosial atau kekaryaan).
Di Puskesmas, anak-anak usia sekolah berkelainan akan diperiksa secara seksama oleh dokter, perawat/ bidan atau tenaga lain yang terlatih.
Hasil pemeriksaan akan berbentuk diagnosis anak sehat atau anak berkelainan.
Bagi anak yang berkelainan, Puskesmas dan menetapkam tindak lanjut sesuai jenis dan kegawatan kelainannya, misalnya :
a) Mengembalikan anak ke keluarga untuk selanjutnya dengan upaya swahusada oleh keluarga dan kader terlatih.
b) Merawat jalan anak yang berkelainan
c) Merawat inap anak yang berkelainan (bila tersedia) selama waktu tertentu, bila dianggap akut namun tidak terlalu gawat.
d) Merujuk ke Rumah Sakit, bila masalahnya tidak dapat diatasi di Puskesmas (rujukan medik).
e) Penyaluran untuk rehabilitasi sosial dan rehabilitasi kekaryaan.
f) Puskesmas menerima kembali anak berkelainan yang sudah dirujuk untuk tindakan selanjutnya.
2) M.R.U. (Mobile Rehabilitation Unit).
Kegiatan MRU dilaksanakan oleh Dinas Sosial dengan tujuan melakukan rehabilitasi anak yang berkelainan (ALB) melalui upaya mobil, agar bebas dari kesulitan ruang (panti) dan mudah menjangkau sasaran khususnya di masyarakat.
Pelaksanaan kegiatan MRU akan sejalan dan tetap di bawah koordinasi Puskesmas di wilayah tersebut.
MRU mendapatkan anak-anak yang berkelainan (ALB) melalui :
a) Hasil deteksi yang dilakukan oleh Puskesmas.
b) Petugas MRU langsung
c) Rujukan dari unit lain baik di tingkat desa maupun tingkat kecamatan.
Setelah dilakukan rehabilitasi medik, apabila diperlukan MRU dapat merujuk ke :
a) Rumah sakit umum tingkat II.
b) Rumah sakit jiwa atau rumah sakit khusus yang tersedia di tingkat II.
Apabila dianggap cukup rehabilitasi yang diberikan, maka MRU dapat mengirim kembali anak berkelainan terseut untuk ditindak lanjuti di tingkat masyarakat yaitu :
a) kader
b) PKK
c) PSM
d) Kleuarga sendiri
3) P.S.K (Petugas Sosial Kecamatan).
PSK bertugas melakukan kegiatan sosial dalam lingkungan masyarakat termasuk di dalamya mendeteksi anak-anak yang berkelainan (ALB).
Penemuan anak-anak yang berkelainan ini kemudian diteruskan ke Puskesmas untuk diperiksa dan penentuan pelayanan selanjutnya, termasuk rehabilitasi sosial yang diperlukan anak berkelainan tersebut.
Demikian pula apabila PSK mendapatkan konsultasi dari berbagai unit kegiatan atau warga di desa binaannya, PSK harus meneruskan kasus ini ke Puskesmas untuk penentuan diagnosa dan pelayanan selanjutnya.
d. TINGKAT II :
1) Rumah Sakit Type D/C/B. :
Dalam hal ini diutamakan kepada RSU tingkat II yang sudah dipersiapkan utuk menangani masalah kecacatan/kelainan.
Rumah Sakit dapat menerima rujukan anak-anak usia sekolah yang berkelainan (ALB) dari :
a) Langsung dari masyarakat.
b) Puskesmas terutama dari wilayah kerjanya.
c) Unit pelayanan lain tingkat Kecamatan seperti MRU, dan lain-lain.
Anak berkelainan (ALB) yang berada dalam keadaan akut dirawat tinggal selama waktu yang diperlukan. Apabila jenis kelamin tidak dapat ditangani oleh Rumah Sakit Umum tingkat Dati II, maka akan dirujuk ke Rumah Sakit tingkat Dati I atau RS Jiwa/RS Khusus (nisalnya : RSOP di Surakarta).
Setelah perawatan di unit ini dianggap sudah cukup, maka Rumah Sakit dapat mengirim kembali penderita ke :
(1) Panti untuk rehabilitasi yang memerlukan rawat tinggal beberapa waktu.
(2) MRU untuk rehabilitasi khususyang tidak memerlukan rawat tinggal.
(3) Puskesmas untuk berobat jalan dan rehabilitasi selanjutnya.
e. TINGKAT I.
1) Rumah sakit type B/A (RSU dan RS Jiwa).
Peran RS tingkat I ialah menjadi “Top referral” dari semua kesehatan termasuk anak usia sekolah berkelainan (ALB).
Untuk penanganan masalah khusus tersebut selain UPT-UPT klinik khusus (THT, Mata, Anak, Syaraf, Jiwa dan lain-lain) maka diharapkan semua RS tingkat I memiliki Unit Rehabilitasi medik di wilayah kerjanya. Oleh sebab itu dalam tingkat rujukan ini dapat pula dimasukkan Rumah Sakit-Rumah Sakit Khusus spesialistik yang ada di wilayah kerja yang sama misalnya RS Orthopedi (RSOP), RS Mata, dan lain-lain.
RS tingkat I dapat menerima rujukan anak usia sekolah berkelainan (ALB) dari :
(a) Masyarakat langsung (jalur ini tidak diperbolehkan).
(b) RS tingkat II di wilayah kerjanya.
(c) Unit pelayanan lain seperti Panti, dan lain-lain.
Penanganan yang dilakukan di RS tingkat I adalah :
(a) Anak berkelainan (ALB) tersebut dirawat selama waktu tertentu apabila dalam keadaan akut dan gawat.
(b) Anak berkelainan (ALB) yang sudah melakukan fase gawat, namun masih memerlukan rehabilitasi yang relative sulit, maka anak akan dirujuk ke Unit Rehabilitasi Medik (URM).
(c) Anak yang tidak memerlukan perawatan lagi akan dikirim kembali ke Puskesmas atau masyarakat.
(d) Anak yang hanya memerlukan rehabilitasi sederhana akan dirujuk ke unit rehabilitasi tingkat II, Kecamatan atau Desa.
2) Rumah Sakit Khusus (RSOP, RS Mata, THT, dan lain-lain)
Rumah Sakit Khusus berperan melakukan perawatan dan rehabilitasi dengan spesialisasi yang tidak dapat dikerjakan di unit pelayanan lain.
Prosedur rujukan sama dengan RS tingkat I.
PENUTUP
Secara umum konsep pembiaan kesehatan anak usia sekolah berkelainan (ALB) trelah diuraikan berdasarkan pengalaman lapangan di daerah panduan. Namun demikian konsep ini hendakya dapat dilaksanakan di luar daerah panduan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.
Buku pedoman ini juga merupakan kelanjutan dari pada “Buku Kesehatan Anak Luar Biasa Penuntun Pengenalan Diri dari ALB di Sekolah” yang diterbitkan oleh Dep. Kes. RI pada tahun 1987, dengan penyempurnaan pada alat identifikasi anak berkelainan oleh suatu tim yang terdiri dari para ahli RS. DR. Sutomo Surabaya. Demikian juga dengan sasaran, tidak saja bagi anak usia sekolah yang berada di luar sekolah.
Demikian diharapkan buku Pedoman ini betul-betul dapat dijadikan pedoman dalam menemukan, merujuk dan memelihara anak usia sekolah berkelainan ini bagi setiap jejjang administrasi yang dimulai dari keluarga, agar anak usia sekolah yang berkelainan (ALB) dapat berkembang dan mencapai taraf kesehatan yang optimal dan produktif secara sosial maupun ekonomi.
LAPORAN KEGIATAN PELAYANAN KESEHATAN ANAK USIA SEKOLAH BERKELAINAN (ALB)
PROPINSI : …………………………………………………………………
TAHUN : …………………………………………………………………
No. JUMLAH BINAAN DAN KEGIATAN NAMA PUSKESMAS BINAAN Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15. Jumlah Desa Dalam Wilayah Kerja Puskesmas
Jumlah Desa Yang Dibina
Jumlah SLB Yang Ada Di Wilayah Kerja Puskesmas
SLB A :
SLB B :
SLB C :
SLB D :
SLB E :
Jumlah SLB Dalam Desa Binaan
Jumlah Penduduk Dalam Wilayah Kerja Puskesmas
Jumlah Penduduk Dalam Desa Binaan
Jumlah KK Dalam Desa Binaan
Jumlah KK Dalam Desa Binaan Yang Mempunyai ALB
Jumlah ALB yang ada di desa binaan
Jumlah ALB di desa binaan ynag masuk SDLB
Jumlah ALB di desa binaan yang di tangani peuskesmas
Jumlah ALB di desa binaan yang dirujuk ke Rumah Sakit oleh Puskesmas
Jumlah ALB di desa binaan yang ditangani oleh rujukan dokter ahli ke Puskesmas
Jumlah kunjungan ke SDLB/SLB oleh petugas
Jumlah keluarga ALB yang dikunjungi oleh petugas Puskesmas.
LAPORAN KEGIATAN PELAYANAN KESEHATAN ANAK USIA SEKOLAH BERKELAINAN (ALB)
PROPINSI : …………………………………………………………………
TAHUN : …………………………………………………………………
No. JUMLAH BINAAN DAN KEGIATAN PUSKESMAS BINAAN Jumlah
1.
2.
3. Jumlah anak yang diperiksa :
Laki –laki :
Perempuan :
Jumlah anak dengan cacat
- Penglihatan :
- Pendengaran :
- Keterbelakangan mental :
- Cacat fisik tubuh :
- Tuna laras :
- Berbakat :
Disekolah
- Tak sekolah :
- Sekolah Dasar :
- SDLB/SLB :
ALAT IDENTIFIKASI
ANAK USIA SEKOLAH BERKELAINAN
RT/ RK/ DUKUH KAMPUNG :
DESA / KELURAHAN :
KECAMATAN :
PETUGAS PELAKSANA :
TANGGAL :
DEPARTEMEN KESEHATAN RI
KERJASAMA DENGAN
RSUD DR. SOETOMO – FK. UNAIR, SURABAYA
1992
Penyusun
Tim Deteksi Dini Berkelainan Usia Sekolah
RSUD dr. Soetomo – FK UNAIR
Penanggung Jawab/Koordinator :
Dr. Muh. Dikman Angsar Wadir Medik
Anggota : 1. dr. Moersintowarti B. Narendra MSc.
UPF Kesehatan Anak
2. Sri Soekesi Hernomo
UPF Penyakit THT
3. dr. Lestari B. Soeharjono
UPF Kesehatan Jiwa
4. dr. Baju Santoso
UPF Rehabilitasi Medik
5. dr. Tirsnowati Taib Saleh
UPF Penyakit Mata
6. dr. Facthur Rochman
UPF Rehabilitasi Medik
7. Drs. Djoko Santoso SU
UPF Kesehatan Jiwa
PEDOMAN ALAT IDENTIFIKASI ANAK USIA SEKOLAH BERKELAINAN
1. PENDAHULUAN :
Anak berkelainan perlu dikeanl dan diidentifikasikan dari kelompok anak pada umumnya, karena mereka memerlukan pelayanan yang bersifat khusus. Pelayanan tersebut dapat berbentuk pertolongan medik, pendidikan khusus maupun latihan-latihan tertentu yang kesemuanya bertujuan untuk membantu mereka mengurangi keterbatasan yang diakibatkan oleh kelainan yang diderita dan menumbuhkan kemandirian hidup dalam bermasyarakat.
Dalam usaha mengenal mereka maka dipergunakan pengetahuan tentang berbagai bentuk dan tingkat kelainan dalam kaitan dengan kelainan organis maupun fungsional (tanda-tanda obyektif atau tanda-tanda yang bersifat subyektif).
Sehubung dengan hal tersebut, maka dipersiapkan suatu alat identifikasi anak usia sekolah berkelainan yang berbentuk daftar pernyataan, yang akan dapat dipakai untuk menilai secara kasar jenis-jenis kelainan pada anak.
Alat identifikasi ini bermula dari instrument yang dikembangkan oleh Kelompok Kerja Pendidikan Luar Biasa kemudian dicetak oleh Dep.Kes. RI atas persetujuan Pusat Pengembangan Kurikulum dan sarana Pendidikan Lib.Bang.Dik.Bud, Dep.Dik.Bud tahun 1985
Pada tahun 1988/1989 berdasarkan pengalaman penggunaan instrument ini di lapangan, masih dirasakan adanya kesulitan dalam pengamatan. Sehingga dengan kerjasama antara pengelola program di Jawa Timur dengan Tim Ahli di RS. DR. Sutomo Surabaya, maka diadakanlah penambahan dan penyederhanaan alat identifikasi anak usia sekolah berkelainan ini. Setelah diuji coba pada tahun berikutnya, ternyata 91,8% pengamatan yang dilakukan oleh kader adalah betul.
Sehingga ditetapkan bahwa alat ini akan digunakan untuk keperluan program deteksi dini anak usia sekolah yang berkelainan di seluruh Indonesia.
2. TUJUAN :
Teridentifikasinya amak-anak usia sekolah yang berkelainan yang berada di luar sekolah.
3. SASARAN :
Seluruh anak usia sekolah yang belum bersekolah dalam kelompok umut 7 – 21 tahun.
4. CARA PENGGUNAAN :
Alat identifikasi ini dimaksudkan untuk membantu para kader dalam mengamati kelainan yang mungkin terjadi pada anak usia sekolah dengan cara yang sederhana dan mudah dilaksanakan.
Alat identifikasi ini terdiri dari 2 (dua ) bagian :
I. Bagian Umum, yang terdiri atas :
A. Identitas subyek
B. Riwayat kelahiran
C. Riwayat perkembangan
D. Pertumbuhan fisik
E. Riwayat kesakitan
F. Riwayat pendidikan
Cara pengisian dari bagian ini ada 2 (dua) macam :
3. Dengan mengisi/menulis keterangan yang sesuai pada tempat yang telah disediakan (dengan tanda titik-titik).
4. Dengan memberikan tanda “V” pada kontak yang sesuai yang telah dicantumkan di depan masing-masing pernyataan.
II. Bagian Khusus :
Bagian ini memuat pengamatan tentang macam-macam kelainan yang mungkin terjadi pada anak-anak, yaitu :
A. Anak tuna laras
B. Anak dengan keterbelakangan mental
C. Anak dengan cacat fisik/tubuh
D. Anak dengan cacat penglihatan
E. Anak dengan cacat pendengaran
F. Anak berbakat.
Pada bagian khusus ini, untuk masing-masing kelainan terdiri atas :
1. Blangko / formulir opengamatan
2. Petunjuk pelaksanaan pengamatannya.
Masing-masing blangko/ formulir hasil pengamatan memuat :
a. Kolom “Gejala yang dapat diamati” yang terletak di sebelah kiri.
b. Kolom “YA” yang merupakan kolom hasil pengamatan, terletak di sebelah kanan.
Cara pengisian kolom hasil pengamatan adalah :
a) Bila hasil pengamatan SESUAI dengan gejala yang diamati, maka pada kolom “YA” dituliskan kata “YA”.
b) Bila hasil pengamatan TIDAK SESUAI dengan gejala yang diamati, maka pada kolom “YA” ditulis tanda kurang ( - ).
c) Bila belum / tidak dapat dilakukan pengamatan untuk suatu jenis gejala, maka pada kolom “YA” tidak perlu diisi (dikosongkan).
Dengan alat identifikasi ini diharapkan para kader dapat melaksanakan deteksi dini pada anak usia sekolah secara baik dan benar, sehingga hasil dari pengamatan tersebut segera dilaporkan ke Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan professional terdekat.
BAGIAN I
UMUM
PEDOMAN IDENTITAS SUBYEK
TANGGAL : ………………………………..
A. IDENTITAS SUBYEK
Nama Subyek :
Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan*)
Alamat :
Tempat dan tanggal lahir :
Suku bangsa :
Agama :
Pendidikan :
Anak urutan ke :………………...dari….………………bersaudara
Orang Tua :
AYAH IBU
Nama :
Usia :
Suku bangsa :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :
Keterangan lain :
Perkawinan ke : Menikah AYAH IBU
Tahun:
I :
II :
III :
Saudara dari subyek :
- Hidup : orang
- Meninggal : orang
- Cacad : orang(laki-laki/perempuan)
B. RIWAYAT KELAHIRAN
1. SEBELUM KELAHIRAN
1.1 Ibu sehat selama mengandung
1.2 Ibu pernah Jatuh /sakit
pada usia kandungan bulan
1.3 Pernah keguguran kehamilan kali
pernah mengalami lahir mati kali
2. SAAT KELAHIRAN
2.1 Lama kandungan : a. cukup bulan ;
berat badan ……………………..gram,
b. kurang bulan ;
berat badan……………………...gram,
panjang……………………………cm.
2.2 Melahirkan di : a. rumah bersalin/ rumah sakit
b. rumah sendiri
c. lainnya :………………………………
2.3 Ditolong oleh : a. dokter
b. bidan
c. dukun beranak
d. lainnya : ………………………………
2.4 Proses kelahiran : a. biasa (normal)
b. sulit, cara : ……………………………
2.5 Kelainan bawaan : a. bisu – tuli
b. ukuran/bentuk kepala
c. buta/tidak dapat melihat
d. sumbing
e. juling
f. lainnya :
keterangan tambahan …………………………...
2.6 Makanan pertama yang diberikan :
a. ASI (air susu ibu) sampai umur…………………........ bulan
b. Susu kaleng, mulai umur……………………………... bulan
sampai………………………………………………... bulan
c. Makanan tambahan lainnya………………………….. bulan
C. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Dibandingkan dengan saudara/anak lainnya pada umumnya maka :
1.1. Perkembangan : a. sama
Terungkap anak b. terlambat/ada kelainan
c. lebih cepat
1.2. Perkembangan : a. sama
Merangkak anak b. terlambat/ada kelainan
c. lebih cepat
1.3. Perkembangan : a. sama
Duduk anak b. terlambat
c. lebih cepat
1.4. Perkembangan : a. sama
Berjalan anak b. terlambat/ada kelainan
c. lebih cepat
2. Dibandingkan dengan saudara/anak lainnya pada umumnya, maka anak :
2.1. Mulai mengucapkan : a. sama
kata-kata pada usia b. terlambat/ada kelainan
c. lebih cepat
2.2. Lancar berbicara : a. sama
pada usia b. terlambat
c. lebih cepat
3. pada anak didapatkan :
3.1. Pengisap jempol : a. tidak
b. ya
3.2. Mengompol : a. tidak
b. ya
3.3. Perhatian terhadap : a. tidak terdapat kelainan
lingkungan b. terdapat kelainan (kurang perhatian, dsb).
3.4. Perasaan takut : a. tidak terdapat kelainan
b. terdapat kelainan (sangat ketakutan).
3.5. Perasaan malu : a. tidak terdapat kelainan
b. terdapat kelainan (sangat pemalu).
3.6. Kegiatan sehari-hari : a. tidak terdapat kelainan
b. terdapat kelainan
4. Anak sudah dapat :
4.1. mandi sendiri : a. ya
b. tidak
4.2. buang air sendiri : a. ya
b. tidak
4.3. berpakaian sediri : a. ya
b. tidak
4.4. makan sendiri : a. ya
b. tidak
4.5. bermain dengan mainan : a. ya
b. tidak
4.6. bergaul dengan anak : a. ya
sebaya b. tidak
4.7. taat pada orang tua : a. ya
b. tidak
4.8. lainnya…………………. : a. ya
b. tidak
D. PERTUMBUHAN FISIK
1. Besar kepala : a. tidak ada kelahiran
b. ada kelainan (terlalu besar/ terlalu kecil terhadap tubuhnya).
2. Ukuran badan :
2.1 Berat badan : Kg
Dibanding saudara/ : a. sedang
teman sebayanya b. kurus
c. gemuk
2.2 Tinggi badan : cm.
Dibanding saudara/ : a. sedang
teman sebayanya b. pendek
c. tinggi
3. Lain-lain :
Gigi geligi :
Jumlah : buah
4. Pertumbuhan remaja :
4.1 Payudara tumbuh : a. sudah
umur : ………………………….tahun
b. belum
4.2 Haid pertama : a. sudah
umur : ………………………….tahun
b. belum
4.3 Buah pelir (testis) turun :
4.3.1. Kanan : a. sudah
b. belum
4.3.2. Kiri : a. sudah
b. belum
4.4 Rambut botak : a. tidak
b. ya
4.5 Banyaknya rambut : a. lebat
b. sedang
c. jarang
E. RIWAYAT KESAKITAN
1. Frekuensi sakit : a. jarang sakit (kurang dari 6 kali setahun)
b. sering sakit (lebih dari 6 kali setahun)
c. tidak pernah sakit
F. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Pernah tidak naik kelas : a. tidak
lebih dari 2 (dua) kali b. ya
2. Sering membolos : a. tidak
b. ya
BAGIAN II
KHUSUS
A. ANAK TUNA LARAS
Pengertian :
Anak tuna laras adalah anak dengan pola tingkah laku yang berulang dan menetap sehingga terjadi pelanggaran peraturan atau norma sosial penting yang sesuai dengan umurnya. Tingkah laku itu lebih parah dari kenakalan yang biasa terdapat di kalangan anak remaja, sehingga membutuhkan penanganannya.
Pada pelaksanaan deteksi dini dengan mempergunakan instrument berikut ini, makin banyak didapati gejala pada kriteria A dan/ atau makin sedikit didapati gejala pada kriteria B, maka berarti kecenderungan anak mengalami gangguan tingkah laku (tuna laras) semakin besar.
ANAK TUNA LARAS
GEJALA YANG DAPAT DIAMATI “YA”
Kriteria A. (berlangung paling sedikit 3 bulan)
1. Pernah melakukan tindak kekerasan bukan karena mempertahankan diri. Misalnya : perusakan, pemukulan, penganiayaan, membongkar atau memasuki rumah orang, perkosaan.
2. Pernah melakukan pencurian terutama di luar rumah termasuk : pemerasan, penjambretan, perampokan dan mencuri tanpa konfrontasi langsung dengan korban.
3. Sering lari dari luar rumah dan menginap di luar rumah
4. Sering melakukan pelanggaran perbagai aturan (yang sesuai untuk umumnya). Misalnya : membolos, menyalahgunakan zat.
5. Berulangkali berbohong secara serius di dalam dan di luar rumah.
Jumlah =
GEJALA YANG DAPAT DIAMATI “YA”
Kriteria B.
1. Mempunyai persahabatan dengan satu atau lebih teman sebaya yang berlangsung lebih dari enam bulan.
2. Bersedia membantu orang lain meskipun tidak memperoleh keuntungan pribadi.
3. Mempunyai rasa bersalah atau menyesal yang wajar (bukan karena tertangkap atau sedang dalam kesulitan).
4. Tidak suka mengadu teman atau melempar kesalahan kepada teman.
5. Menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan teman.
Jumlah =
ETUNJUK PELAKSANAAN PENGAMATAN (OBSERVASI)
ANAK TUNA LARAS
Kriteria A.
Gejala nomor 1,2,3,4, dan 5 … sudah jelas.
Kriteria B.
Gejala nomor 1 : Mempunyai persahabatan dengan satu atau lebih teman sebaya yang berlangsung lebih dari enam bulan.
Cara : Subyek ditanya apakah dia mempunyai sahabat/ teman dekat yang sebaya. Berapa sahabat/teman dekat yang sebaya. Beberapa jumlah teman dekatnya tersebut dan persahabatan itu telah berlangsung berapa lama.
Gejala nomor 2 : Bersedia membantu orang lain meskipun tidak memperoleh keunungan pribadi.
Cara : Tanyakan pada orang tua/ keluarga dekat apakah subyek mau membantu orang yang sedang mengalami kesulitan/ perlu bantuan meskipu dia akan mendapatkan imbalan keuntungan untuk itu.
Gejala nomor 3 : Mempunyai rasa bermasalah atau menyesal yang wajar (bukan karena tertangkap atau sedang dalam kesulitan).
Cara : Tanyakan kepada subyek bilamana subyek berbuat sesuatu kesalahan bagaimana perasaannya ?
Apakah timbul perasaan menyesal, bersalah dalam dirinya meskipun tidak seorangpun yang mengetahui kesalahannya itu. Apabila ternyata ya, berarti subyek mempunyai gejala nomor 3 ini.
Gejala nomor 4 : Tidak suka mengadu teman atau melempar kesalahan kepada teman.
Cara : Tanyakan kepada subyek /orangtua/keluarga dekat, apabila subjek mengetahui salah satu dari temannya telah berbuat suatu kesalahan atau ketidakjujuran, bagaimana sikap subyek? Apakah akan melaporkan perbuatan teman tersebut pada teman lainnya atau merahasiakannya ? Apabila sewaktu bekerja sama dengan teman, subyek berbuat suatu kesalahan bagaimanakah sikap subyek. Apakah mau mengakui kesalahannya atau kalau bisa berusaha melemparkan kesalahan tersebut pada orang lain.
Gejalah nomor 5 : Menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan teman.
Cara : Tanyakan kepada subyek atau orang tua/ keluarga dekat, bilamana subyek mengetahui salah satu teman sedang dalam kesulitan, bagaimana perasaan subyek ? Apakah dia acuh saja karena merasa itu adalah permasalahan orang lain ataukah sering kali dia ikut – ikutan jadi susah dan berusaha membantunya.
B. ANAK DENGAN KETERBELAKANGAN MENTAL
Pengertian :
Anak dengan keterbelakangan mental adalah anak yang mengalami hambatan atau keterlambatan dalam perkembangan mental (fungsi intelektual umum di bawah rata-rata yang cukup bermakna) sehingga mengakibatkan kurang kemampuan dalam belajar dan penyesuaian diri serta perlu pelayanan atau pendidikan khusus.
Apabila pada pelaksanaan deteksi dini dengan mempergunakan instrument berikut ini didapati 5(lima) atau lebih gejala yang dapat diamati, maka perlu ditelusuri lebih lanjut kemungkinan adanya keterbelakangan mental sehingga penanganan yang tepat dapat dilakukan.
ANAK DENGAN KETERBELAKANGAN MENTAL
GEJALA YANG DAPAT DIAMATI “YA”
1. Penampilan fisik tidak seimbang antara lain : bentuk kepala terlalu besar/ kecil.
2. Tergantung secara berlebihan, kurang mampu mandiri sesuai umurnya.
3. Kurang tanggap.
4. Statis dalam aktifitas dan kurang mudah bereaksi.
5. Inisiatif kurang berkembang.
6. Perkembangan bicara terlambat, bahasa terbatas.
7. Kemampuan berhitung kurang
8. Daya humor kurang sekali
9. Pandangan kosong, kurang perhatian terhadap lingkungan.
10. Koordinasi gerakan kurang, gerakan tak terkendali
11. Ngiler, ngowoh
12. Perkembangan motorik terlambat (merangkak, duduk, berjalan dan lain-lain).
13. Prestasi sekolah kurang secara menyeluruh.
14. Berturut – turut tidak naik kelas.
15. Kurang kerja sama
16. Mudah meniru tanpa tujuan, terutama hal yang kurang baik
17. Daya ingat jelek
18. Sukar mengerti meskipun berulang kali dijelaskan.
19. Konsentrasi mudah berpindah
20. Mudah lelah (mental maupun fisik).
Jumlah =
PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAMATAN (OBSERVASI)
ANAK DENGAN KETERBELAKANGAN MENTAL
Gejala nomor 1 : Penampilan fisik tidak seimbang; bentuk kepala terlalu besar/ terlalu kecil.
Cara : Dengan mngamati keadaan subyek.
Gejala nomor 2 : Tergantung secara berlebihan, kurang mampu mandiri sesuai umurnya.
Cara : Adakan wawancara dengan orang tua/keluarga subyek, tanyakan misalnya :
- apakah subyek sudah dapat makan sendiri/mandi sendiri/ berpakaian sendiri dan sebagainya.
- Apakah dalam banyak hal masih banyak membutuhkan bantuan?
Gejala nomor 3 : Kurang tanggap
Cara : Dapat langsung subyek diamati atau di tanyakan pada orang tua/keluarga dekat, apakah reaksi/tanggapan subyek terhadap perubahan situasi yang terjadi di sekitarnya lambat/kurang. Misalnya : ada orang datang acuh tak acuh. Ada barang jatuh/hal-hal yang tak beres tidak peduli.
Gejala nomor 4 : Statis dalam aktifitas.
Cara : Dalam pengamatan tampak aktifitas subyek tidak bervariasi. Misalnya : yang dikerjakan hal itu-itu saja.
Gejala nomor 5 : Inisiatif kurang berkembang.
Cara : Bisa langsung diamati atau lewat wawancara dengan orang tua/keluarga subyek yang dekat. Dalam bermain/kegiatan-kegiatannya hanya bersifat ikut-ikutan atau harus disuruh.
Gejala nomor 6 : Perkembangan bicara terlambat, bahasa terbatas.
Cara : - Tanyakan kepada orang tua bagaimana kemampuan bicara anak dibandingkan dengan kakak/adiknya.
- Adakan tanya jawab dengan subyek mengenai hal-hal biasa seperti menanyakan nama, umur, senang bermain apa, nama kakak/adik dan sebagainya.
- Kepada subyek ditanyakan mengenai nama beberapa benda sehari-hari yang ada disekelilingnya. Misalnya : perabot rumah tangga, mainan, binatang dan sebagainya. Atau subyek diminta menunjukkan pada benda yang disebutkan namanya oleh petugas, misalnya : “Mana cangkir, coba tunjukkan”.
Jika subyek lebih banyak gagal atau mengacau dalam melakukan tugasnya maka gejala nomor 3 diberi nilai “Y”
Gejala nomor 7 : Kemampuan berhitung kurang.
Cara : - Dapat dilihat melalui prestasi di sekolah (niali Raport)…..sudah jelas.
- Dapat diliahat/ditanyakan kepada orang tua bagaimana kemampuan subyek dalam hitung-menghitung, misalnya terhadap nilai uang.
Gejala nomor 8 : Daya humor kurang sekali.
Cara : Melalui pengamatan subyek terlihat kurang sekali beraksi terhadap hal-hal yang lucu disekitarnya.
Gejala nomor 9 : Pandangan kosong, kurang perhatian terhadap lingkungan.
Cara : Gejala ini kadang-kadang bisa juga segera diamati. Bila disapa petugas atau orang-orang lain masih tetap kurang memperhatikan atau menunjukkan ekpresi kosong maka gejala ini diberi nilai “ya”
Gejala nomor 10 : Koordinasi gerakan kurang, gerakan tak terkendali.
Cara : Amati sikap anak sewaktu berjalan, melompat, memegang benda, diberi tugas seperti melompati benda, mengambil barang yang besar (misalnya buku), batu kecil, pensil. Perhatikan caranya. Pada anak yang tergolong C, biasanya gerakan kaku dan tidak ada perbedaan antara cara mengambil benda besar dengan benda kecil (caranya sama), seolah-olah mengenggam. Jika gejala tersebut terlihat, diberi nilai “ya”.
Gejala nomor 11 : Ngiler, ngowoh. Yaitu keadaan dimana mulut selalu terbuka dan keluar air liur.
Cara : Melalui pengamatan langsung atau lewat wawancara dengan orang tua / keluarga dekat subek.
Gejala nomor 12 : Perkembangan motorik terlambat (merangkak, duduk, berjalan dan lain-lain).
Cara : Adakah wawancara dengan orang tua/ keluarga subyek, tanyakan misalnya : dibandingkan kakak/ adik/ anak-anak lain bagaimana waktu subyek mulai dapat merangkak, duduk, berjalan dan sebagainya. Bila sangat terambat atau tidak terjadi gejala, diberi nilai “ya”. Adakan pengamatan sendiri, misalnya subyek kelihatan tergolek terus di tempat tidur.
Gejala nomor 13 : Prestai sekolah kurang secara menyeluruh.
Cara : Cukup jelas
Gejala nomor 14 : Berturut-turut tidak naik kelas
Cara : Cukup jelas
Gejala nomor 15 : Kurang kerja sama
Cara : Melalui wawancara dengan orang tua/ keluarga dekat subyek. Tanyakan apakah subyek sering tampak berselisih dengan teman, terkucil dari teman, dalam kelompok subyek sibuk dengan kegiatannya sendiri.
Gejala nomor 16 : Mudah meniru tanpa tujuan, terutama mengenai hal-hal yang kurang baik.
Cara : Tanyakan kepada orang tua/keluarga dekatnya apakah subyek sering mengucapkan kata-kata atau bertingkah laku tidak baik tanpa mengetahui artinya.
Gejala nomor 17 : Daya ingat jelek
Cara : Cukup jelas
Gejala nomor 18 : Sukar mengerti meskipun berulangkali di jelaskan.
Cara : Cukup jelas
Gejala nomor 19 : Konsentrasi mudah berpindah
Cara : Dapat melalui pengamatan langsung atau lewat dekat subyek. Tanyakan apakah subyek dapat menekuni kegiatan yang sedang dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama. Apakah subyek seringkali memperhatikan hal-hal ini di sekitarnya sewaktu dia sedang mengerjakan tugas/ belajar.
Gejala nomor 20 : Mudah lelah mental maupun fisik.
Cara : Dapat melalui pengamatan atau lewat wawancara dengan orang tua/keluarga dekatnya. Tanyakan apakah subyek sering tampak lesi, tidak semangat/tidak bergairah, malas-malasan.
C. ANAK DENGAN CACAT FISIK/ TUBUH
Yang dimaksud dengan cacat fisik adalah cacat yang menyangkut sistim saraf –otot-tulang.
ANAK DENGAN CACAT FISIK/ TUBUH
Untuk diisi bagi anak yang dicurigai ada tanda-tanda kurang baik/berkelainan pada sistim syaraf-otot-tulang.
GEJALA YANG DAPAT DIAMATI “YA”
1. Anggota gerak ubuh tidak lengkap.
2. Tredapat bentuk anggota tubuh yang tidak normal.
3. Bentuk tulang belakang tidak normal
4. Posisi (sikap) tubuh tidak normal
5. Pola (cara) berjalan anak tidak normal
6. Luas (kemampuan) gerak sendi terbatas.
7. Terdapat kekakuan otot
8. Terdapat otot yang lemah
9. Terdapat pengecilan otot
10. Terdapat gangguan perasaan kulit
11. Terdapat gerakan yang tidak wajar.
12. Terdapat gangguan / hambatan dalam melaksanakan aktifitas kehidupan sehari-hari.
Jumlah =
Bila diketemukan satu/lebih gejala tersebut di atas, sebaiknya anak dirujuk untuk ditelusuri lebih lanjut kemungkinan adanya cacat fisik/tubuh.
PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAMATAN (OBSERVASI)
ANAK DENGAN CACAT FISIK/ TUBUH
Gejala nomor 1
Amati keseluruhan tubuh anak, apakah terdapat bagian-bagian tubuh/anggota gerak yang tidak lengkap/ tidak sempurna.
Tubuh manusia yang lengkap terdiri atas :
1.1 kepala, yang dilengkapi dengan mata (sepasang), hidung, bibir/mulut, telinga (sepasang) dan rabut ;
1.2 leher
1.3 togok (=badan=”trunk”) ;
1.4 anggota gerak atas (sepasang), yang masing-masing terdiri dari :
1.4.1 lengan atas
1.4.2 lengan bawah
1.4.3 tangan dan jari-jari tangan (5 buah) ;
1.5 anggota gerak bawah (sepasang), yang masing-masing terdiri dari :
1.5.1 tungkai atas
1.5.2 tungkai bawah
1.5.3 kaki dan jari-jari kaki (5 buah).
Masing-masing bagian anggota gerak (atas/bawah) dan antara anggota gerak dengan togok (=tubuh) dihubungkan dengan suatu persendian (=engsel).
Gejala nomor 2
Amati bentuk dan besar tuuh secara keseluruhan, dengan cara :
2.1 Bandingkan besar kepala anak dengan besar badannya. Bila besar kepala tidak sebanding dengan besar tubuhnya, ukurlah lingkaran kepala anak, dengan cara melingkarkan alat pengukur panjang (meteran) pada kepala anak melewati dahi dan bagian belakang kepala yang menonjol.
Ukuran lingkaran kepala yang normal :
Umur anak Laki-laki Perempuan
Minimum Maksimum Minimum Maksimum
6 tahun
10 tahun
12 tahun
15 tahun
18 tahun 49 cm
50 cm
51 cm
52 cm
53,5 cm 54 cm
56 cm
57 cm
58 cm
58,5 cm 48 cm
49 cm
50,5 cm
52 cm
52 cm 53 cm
55 cm
56 cm
57 cm
58 cm
2.2 Bayangkan seolah-olah tubuh anak “terbagi” dalam 2 (dua) bagian, kanan dan kiri. Kemudian bandingkan bentuk dan besa tubuh bagian kanan dengan tubuh bagian kiri.
Gejala nomor 3
Amati bentuk tulang belakang anak, dengan cara :
3.1 Mintalah anak berdiri secara tegap (sikap “siap”)
3.2 Lihatlah tubuh anak dari belakang :
a. Bandingkan bentuk dan besar tubuh bagian kanan dengan tubuh bagian kiri ;
b. Perhatikan tulang belakang anak, apakah lurus atau bengkok ke samping (kanan/kiri) ;
c. Perhatikan apakah ada benjolan yang tidak wajar di bagian tulang pungggung (=tulang belakang).
3.3 Lihat punggung anak dari arah samping :
a. perhatikan apakah lengkung tulang belakang wajar atau berlebihan ;
b. apakah ada benjolan yang tidak wajar.
Gejala nomor 4
Amati sikap tubuh anak sewaktu berdiri :
4.1 perhatikan kepala/tubuh bagian atas, apakah membungkuk tegap atau membungkuk berlebihan ;
4.2 perhatikan kedua pundak/ bahu anak, apakah sama tinggi atau berbeda ;
4.3 perhatikan pinggul anak lalu, bandingkan tinggi ppinggul anak sebelah kanan dengan sebelah kiri, apakah sama tinggi atau tidak.
Gejala nomor 5
Amati cara berjalan anak, apakah gerakan anggota geraknya (atas/bawah) wajar atau tidak wajar. Cara berjalan yang tidak wajar, misalnya :
a. berjalan dengan tidak melambaikan lengan/ tangannya ;
b. berjalan dengan pincang ;
c. berjalan dengan salah satu tangan memegangi lutut dan badan agak membungkuk ;
d. berjalan dengan kedua tungkai saling bersilangan (sepeti menggunting).
Gejala nomor 6
Periksalah gerakan tiap-tiap sendi secara keseluruhan, yang terdiri atas sendi-sendi leher, bahu, siku, pergelangan tangan, jari-jari tangan, pinggul (=pangkal paha), lutut, pergelangan kaki dan jari-jari kaki.
Cara pemeriksaan :
Suruhlah anak menggerakkan sendi secara keseluruhan, yang terdiri atas sendi-sendi leher, bahu, siku, pergelangan tangan, jari-jari tangan, pinggul (=pangkal paha), lutut, pergelangan kaki dan jari-jari kaki.
Cara pemeriksaan :
Suruhlah anak menggerakan sendiri persendiannya satu persatu. Bila anak tidak dapat menggerakkan sendiri persendiannya, pemeriksa harus mencoba menggerakkannya ; tetapi bila di rasakan ada tahanan/ kekakuan sendi maka tidak boleh diteruskan/ dipaksakan.
Masing-masing persendian digerakkan ke semua arah yang dalam keadaan normal memungkinkan misalnya : sendi leher ; dalam keadaan normal dapat bergerak (menekuk) kearah depan, belakang, samping kanan, samping kiri, menoleh ke kanan dank e kiri serta memutar.
Gerakan sendi yang normal mempunyai luas (=kemampuan) gerakan tertentu. Untuk mengetahui normal atau tidaknya luas (=kemampuan) gerakan sendi tersebut, bandingkanlah dengan luas (=kemampuan) gerakan sendi pada diri anda sendiri.
Gejala nomor 7
Untuk mengetahui adanya kekakuan otot, cara pemeriksaannya mirip dengan pemeriksaan luas (=kemampuan) gerak sendi. Perbedaannya adalah untuk hal ini yang diamati yaitu lancar tidaknya gerakan sendi. Pada otot yang normal-normal, gerakan sendi adalah lancar. Bila gerakan sendi tidak/ kurang lancar berarti ada otot yang kaku.
Gejala nomor 8
Periksalah kekuatan otot-otot tubuh secara keseluruhan, kelompok demi kelompok
8.1. Otot leher
Posisi anak : tegak (duduk atau berdiri)
8.2. Otot togok (=badan)
Posisi awal : berbaring.
Kemudian anak diminta duduk , langsung dari posisi berbaring tanpa bantuan kekuatan anggota geraknya (=gerakan “sit up”). Bila anak mengalami kesukaran atau tidak mampu melakukan hal itu berarti ada kelemahan otot-otot dinding perut.
Selanjutnya anak diminta untuk secara tegap. Pemeriksa mendorong tubuh anak ke berbagai arah sembari anak tersebut tetap menjaga sikap duduknya secara tegap. Bila anak tidak dapat duduk secara tegap atau tidak dapat mempertahankan sikap duduknya secara tegap berarti ada kelemahan otot-otot badannya.
8.3 Otot-otot lengan
Anak diminta mengangkat benda (jangan yang terlalu berat)
8.4 Otot-otot jari tangan.
Anak diminta menggenggam erat-erat jari tangan pemeriksa, lalu tangan pemeriksa coba ditarik.
8.5 Otot-otot tungkai atas dan paha.
Anak diminta jongkok-berdiri secara berulang-ulang, tanpa berpegangan.
8.6 Otot tungkai bawah
Anak diminta berjalan pada ujung-ujung jari kakinya. Setelah itu kemudian diminta jalan pada tumitnya.
Gejala nomor 9
Bandingkan besarnya anggota gerak (atas/bawah) antara yang kanan dengan yang kiri.
Gejala nomor 10
Bandingkan perasaan kulit tubuh dan anggota gerak, antara yang kanan dengan yang kiri ; dengan cara :
10.1 mengusapkan kapas/bulu ;
10.2 menempelkan benda yang hangat
10.3 menekankan benda yang dingin ;
10.4 menekankan benda yang agak runcing.
Gejala nomor 11
Dapat diamati segera sewaktu pemeriksa mengadakan wawancara dengan anak/ orang tua/ pengantar ; tentang :
11.1 apakah anak dapat duduk dengan tenang ;
11.2 apakah anak terus-menerus memegang benda-benda di sekitar secara gelisah ;
11.3 apakah perhatian anak sangat mudah teralihkan.
Gejala nomor 12
Yang dimaksud dengan aktifitas kehidupan sehari-hari adalah aktifitas (=kegiatan) yang seharusnya mampu dikerjakan (dilakukan) oleh manusia / anak usia sekolah yang normal, misalnya : membersihkan dan merapikan diri, mengenakan pakaian, makan/ minum sendiri (tanpa disuap atau dibantu).
Cara pemeriksaan :
Dengan wawancara anak/ orang tua / pengantar dan/ atau meminta anak mengerjakan aktifitas tersebut di atas.
D. ANAK DENGAN CACAT PENGLIHATAN
Pengertian :
Anak dengan cacat penglihatan adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatan berupa kebutuhan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat Bantu masih tetap membutuhkan pelayanan/ pendidikan khusus.
Apabila pada pelaksanaan deteksi dini dengan mempergunakan instrument berikut ini diketemukan satu/lebih gejala-gejala yang dapat diamati, maka sebaiknya anak di rujuk untuk di telusuri lebih lanjut kemungkinan adanya cacat penglihatan.
ANAK DENGAN CACAT PENGLIHATAN
GEJALA YANG DAPAT DIAMATI “YA”
A. Tes daya lihat anak
Tidak dapat melihat huruf pada kartu “E” sampai lajur dua/tiga dari bawah, dengan jarak pemeriksaan 3 meter.
B. Tes kesehatan mata
1. Tidak dapat melihat jauh dengan jelas.
2. Sering memicingkan mata atau mengerutkan dahi atau menutup sebelah matanya.
3. Melihat/membaca terlalu dekat.
4. Posisi kepala miring atau dijulurkan ke depan.
5. Sering menbrak benda kecil disekitarnya.
6. Mata bergoyang terus.
7. Mata juling.
8. Mata merah, bengkak, belekan atau keluar air.
9. Penglihatan rangkap.
10. Bagian bola mata yang hitam terdapat bercak putih/keruh/kering.
11. Terdapat bercak putih pada manik mata (orang-orangan mata).
12. Kelopak mata tidak dapat membuka sama lebar.
Jumlah =
PETUNJUK PENJELASAN PENGAMATAN
ANAK DENGAN CACAT PENGLIHATAN
A. Tes daya lihat anak.
Cara : 1. Pilihlah suatu ruangan yang bersih dan tenang, dengan penyinaran yang baik.
2. Gantungkanlah “Kartu E” di dinding (jangan dekat jendela atau pintu) setinggi mata anak pada posisi duduk.
3. Letakkan sebuah kursi sejauh 3 meter dari dinding tersebut, menghadap ke arah “Kartu E” untuk anak.
4. Latihlah anak untuk dapat menunjukkan dengan jari-jarinya ke arah kaki huruf E dengan menggunakan huruf E terbesar. Anak diminta untuk mengarahkan jari-jarinya ke salah satu dari 4 arah (atas/bawah/kiri/kanan) huruf E yang ditunjukkan oleh pelaksana tes. Pujilah setiap kali anak melakukannya.
5. Anak diminta untuk menutup sebelah matanya dengan buku atau benda lain.
6. Dengan menggunakan alat penunjuk, tunjuklah setiap huruf E, mulai dengan huruf yang terbesar dan bergerak ke bawah ke hruf E yang terkecil yang masih dapat terlihat. Pujilah setiap kali anak menggambarkan arah huruf E yang di tunjuk.
7. Ulangi pemeriksaan ini dengan memakai mata yang lainnya dengan carayang sama.
B. Tes kesehatan mata
Gejala nomor 1 : Tidak dapat melihat jauh dengan jelas.
Cara : Subyek diminta menyebutkan benda-benda yang ada pada jarak 6 meter dari subyek.
Umpama : meja, pohon, sepeda, dan lain-lain.
Gejala nomor 2 : Sering memicingkan mata atau, mengerutkan dahi atau menutup sebelah matanya.
Cara : Jelas.
Gejala nomor 3 : Melihat/membaca terlalu dekat.
Cara : Subyek diminta membaca/melihat buku, apabila jarak bacanya 30 cm, berarti terlalu dekat.
Gejala nomor 4 : Posisi kepala miring atau dijulurkan ke depan.
Cara : Jelas.
Gejala nomor 5 : Sering menabrak benda kecil di sekitarnya.
Cara : Subyek diminta berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain, perhatikan apabila gejala nomor 5 ini tampak.
Gejala nomor 6 : Mata bergoyang terus.
Cara : Pengamatan langsung dengan memperhatikan mata subyek.
Gejala nomor 7 : Mata juling.
Cara : Subyek diminta melihat pada lampu senter yang ditempatkan di depan subyek setinggi mata pada jarak 30 cm, perhatikan refleks kornea. Apabila setelah satu refleks kornea tidak terletak di tengah manik mata berarti mata juling.
Refleks kornea di tengah refleks kornea kiri
Tidak ditengah juling
Gejala nomor 8 : Mata merah, bengkak, belekan atau keluar air.
Cara : Pengamatan langsung dengan memeperhatikan mata subyek.
Gejala nomor 9 : Penglihatan rangkap.
Cara : Subyek diminta melihat pada lampu senter yang ditempatkan di depan subyek pada jarak 30 cm. Kemudian digerakkan ke atas, bawah, kanan dan kiri, Tanya pada subyek apakah lampu senter tampak rangkap.
Gejala nomor 10 : Bagian bola mata yang hitam terdapat bercak putih/keruh/kering.
Cara : Pengamatan langsung dengan memperhatikan mata subyek.
Gejala nomor 11 : Terdapat bercak putih pada manik mata (orang-orangan mata).
Cara : Pengamatan langsung dengan memperhatikan mata subbyek.
Gejala nomor 12 : Kelopak mata tidak dapat membuka sama lebar.
Cara : Subyek diminta melihat lurus ke depan, perhatikan apakah kelopak matanya dapat membuka melalui manik mata dan perhatikan apakah membukanya kelopak mata kanan dan kiri sama besar.
Kelopak mata kanan dan kiri - Kelopak mata kanan tidak
Membuka sama lebar dapat membuka melampaui manik mata
- Kelopak mata kanan dan kiri tidak
membuka sama lebar
KARTU E UNTUK TES DAYA LIHAT
(Jarak anak dengan kartu E adalah 3 meter)
Baris,
pertama
Baris,
kedua
Baris,
ketiga
Baris,
keempat
HURUF E
YANG
DIGUNAKAN
UNTUK LATIHAN
E. ANAK DENGAN CACAT PENDENGARAN
Pengertian :
Anak dengan cacat pendengaran adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal.
Apabila pada pelaksanaan deteksi dini dengan mempergunakan instrument berikut ini diketemukan satu/lebih gejala-gejala yang dapat diamati, maka sebaiknya anak dirujuk untuk ditelusuri lebih lanjut kemungkinan adanya cacat pendengaran.
ANAK DENGAN CACAT PENDENGARAN
GEJALA YANG DAPAT DIAMATI “YA”
A. Pengamatan
1. Tidak mendengar.
2. Tidak ada/terlambat dalam perkembangan bahasa.
3. Sering menggunakan bahasa isyarat.
4. Tidak/kurang tanggap terhadap suara atau bila diajak bicara.
5. Sulit diajak bicara apabila tak berhadapan (tak dapat membaca gerak bibir).
6. Ucapan kata tidak jelas.
7. Memiliki kualitas suara yang aneh/biasanya tinggi melengking, sengau, parau.
8. Sering memiringkan kepala dalam usaha mentuk mendengarkan.
9. Keluar nanah dari telinga.
10. Ada kelainan pada telinga (daun telinga kecil, lubang menutup dsb).
B. Tes Pendengaran.
Tajam pendengaran dengan tes suara bisik kurang dari 4 meter.
Jumlah =
PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAMATAN
ANAK DENGAN CACAT PENDENGARAN
A. Pengamatan
Gejala nomor 1 sampai dengan gejala nomor 10 :
Dapat langsung diamati dengan memperhatikan telinga anak dan kemauan anak dalam berkomunikasi secara verbal.
B. Tes pendengaran
TES BISIK
(bila semua kata pengantar, pemeriksa mundur) terdengar 80%
(4 dari 5 kata)
NORMAL
SYARAT PELAKSANAAN TES BISIK :
YANG DIPERIKSA PEMERIKSA
- telinga diarahkan ke pemeriksa - membisikkan 5 kata yang dikenal,
- telinga yang lain ditutup dengan udara, dengan udara
- mata ditutup cadangan sesudah mengeluarkan
- mengulang dengan keras napas (ekspirasi) secara biasa.
(± 25 dB)
RUANGAN : sunyi, ada jarak 6 m.
PENILAIAN : 6 – 4 meter : praktis normal
< 4 – 2 meter : tuli ringan
< 2 – 1 meter : tuli sedang
< 10 cm : tuli berat
0 : tuli total
F. ANAK BERBAKAT
Pengertian :
Anak berbakat adalah anak yang memiliki bakat/kemampuan yang unggul dan berkemampuan menunjukkan prestasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan anak lainnya sehingga membutuhkan pelayanan/pendidikan khusus.
Apabila pada pelaksanaan deteksi dini dengan mempergunakan instrument berikut ini terdapat 5 (lima) atau lebih gejala-gejala yang dapat diamati, maka perlu ditelusuri lebih lanjut kemungkinan sebagai anak berbakat agar penanganannya yang tepat segera dapat dilakukan.
ANAK BERBAKAT
GEJALA YANG DAPAT DIAMATI “YA”
1. Ingin tahu berlebihan
2. Tidak mudah puas dengan jawaban yang diberikan atas pertanyaan yang diajukan.
3. perbendaharaan kata luas
4. Logika dan penalaran baik
5. Minat dan kemauan luas, bermacam-macam, pembosan untuk jenis yang sudah mampu
6. Inisiatif cepat dan tepat
7. Mampu memimpin dan mempengaruhi lingkungannya
8. Tekun dan ulet untuk tugas yang penuh tantangan
9. Cepat mengerti sesuatu hal
10. Daya khayal tinggi
11. Mempunyai ide dan gagasan baru
12. Suka mencoba-coba
13. Cekatan dan praktis dalam aktifitasnya
14. Presentasi sekolah tinggi tanpa usaha/belajar yang tekun.
15. Cenderung menonjol dalam semua mata pelajaran
16. Daya ingatannya baik
17. Daya abtraksinya tinggi
18. Menentang pola aturan lama yang tidak praktis
19. Cenderung sukar diatur dan mengarah semaunya sendiri dengan alas an logis rasional (bukan emosional)
20. Ambisi tinggi dengan usaha kuat
Jumlah =
PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAMATAN (OBSERVASI)
ANAK BERBAKAT
Gejala nomor 1 : Ingin tahu berlebihan
Cara : Dapat melalui wawancara dengan orang tua/ keluarga dekat/ lingkungan subyek atau melalui pengamatan langsung terhadap subyek.
Gejala nomor 2 : Tidak mudah puas dengan jawaban yang diberikan atas pertanyaan yang diajukan.
Cara : Adakan wawancara dengan orang tua/ keluarga dekat/ lingkungan subyek atau secara langsung mengajukan pertanyaan terhadap subyek dengan harapan jawabannya tidak sederhana.
Gejala nomor 3 : Perbendaharaan kata luas.
Cara : Dengan melakukan pengamatan atau wawancara langsung serta melihat pemakaian kata-kata yang lebih tinggi dari umumnya.
Gejala nomor 4 : Logika dan penalaran baik
Cara : Dapat melalui pengamatan langsung atau lewat wawancara dengan orang tua/keluarga dekat/ lingkungan subyek. Dalam menjawab pertanyaan dan memecahkan suatu persoalan, subyek punya alas an logis dan rasional.
Gejala nomor 5 : Minat dan kemauan luas, bermacam-macam, pembosan untuk jenis yang sudah mampu.
Cara : Dengan pengamatan langsung atau wawancara terhadap orang tua/keluarga dekat, ternyata bahwa minatnya bervariasi tak seimbang dengan umurnya.
Gejala nomor 6 : Inisiatif cepat dan tepat
Cara : Dapat melalui pengamatan langsung atau lewat wawaancara dengan orang tua/ lingkungan dekatnya dalam hal pemecahan masalah
Gejala nomor 7 : Mampu memimpin dan mempengaruhi lingkungannya.
Cara : Dengan pengamatan langsung terhadap subyek sewaktu melakukan kerja kelompok.
Gejala nomor 8 : Tekun dan ulet untuk tugas yang penuh tantangan.
Cara : Dengan wawancara terhada orang tua/ lingkungannya atau pengamatan langsung dengan memberikan tugas yang penuh tantangan, dimana subyek tidak mau menyerah dan mau berusaha.
Gejala nomor 9 : Cepat mengerti suatu hal
Cara : Jelas
Gejala nomor 10 : Daya khayal tinggi
Cara : Sudah jelas
Gejala nomor 11 : Mempunyai ide dan gagasan baru
Cara : Sudah jelas
Ejala nomor 12 : Suka mencoba-coba
Cara : Sudah jelas
Gejala nomor 13 : Cekatan dan praktis dalam aktivitasnya.
Cara : Dengan pengamatan langsung atau melakukan wawancara dengan orang tua/ keluarga / lingkungan dekat subyek tentang cara kerja subyek.
Gejala nomor 14 : Prestasi sekolah tinggi tanpa usaha/ belaja yang tekun
Cara : Dengan pengamatan terhadap prestasi di sekolah (melihat nilai ulangan harian/nilai raport) serta wawancara dengan orang tua/ lingkungan dekat subyek tentang cara belajar.
Gejala nomor 15 : Cenderung menonjol dalam semua mata pelajaran
Cara : Dengan pengamatan langsung terhadap subyek dan wawancara terhadap orang tua/ lingkungan dekatnya tentang prestasi sekolah sekolah secara keseluruhan dan keterampilan subyek.
Gejala nomor 16 : Daya ingatannya baik
Cara : Sudah jelas
Gejala nomor 17 : Daya abstraksi tinggi
Cara : Wawancara dengan orang tua/ lingkungan dekat subyek mengenai kemampuan berpikir subyek akan hal-hal yang tidak nyata dan ide-ide yang bersifat abstrak.
Gejala nomor 18 : Menentang pola aturan lama yang tidak praktis
Cara : - Wawancara dengan orang tua/ lingkungan dekat subyek tentang pendapat dan cara-cara subyek menghadapi aturan lama yang tidak praktis;
- Dengan pengamatan langsung terhadap subyek sewaktu diberi tugas untuk di selesaikan dengan cara-cara/ metode lama yang tidak praktis, namun sebetulnya tugas tersebut dapat pula diselesaikan secara lebih praktis.
Subyek akan merubah cara-cara lama dengan metoda baru yang lebih praktis
Gejala nomor 19 : Cenderung sukar diatur dan mengarah semaunya sendiri dengan alas an logis rasional (bukan emosional)
Cara : Dengan pengamatan langsung dan waawncara terhadap orang tua/ lingkungan dekat subyek, dimana subyek mempunyai sifat kritis.
Gejala nommor 20 : Ambisi tinggi dengan usaha kuat
Cara : Dengan wawancara terhadap orang tua/ lingkungan dekat subyek atau pengamatan langsung terhadap subyek, dimana subyek mempunyai kemauan dan usaha yang kuat.
Rabu, September 10, 2008
PEDOMAN PEMBINAAN KESEHATAN ANAK USIA SEKOLAH BERKELAINAN
belajar
Kesehatan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar